[Cerita Pendek] Alasan Kematian
Alasan Kematian
Hanaranur
***
Diiringi derit engsel berkarat, gulita yang menghuni seisi ruangan seolah memberikan sambutan paling meriah begitu Sana membuka pintu. Malam sudah terlampau larut di luar sana. Cahaya rembulan remang-remang yang menyelusup lewat pentilasi tidak cukup kuat untuk membantu penglihatan. Sana tampak melangkah dalam ritme lambat kendati kamar kontrakannya cuma dua petak—entah penuh perhitungan karena takut tersandung atau memang dia sudah tidak memiliki tenaga untuk sekadar menggerakkan tungkai. Akan tetapi alih-alih menekan saklar, gadis itu malah menghampiri peralatan dapur yang diletakkan di samping kompor, meneliti isinya sebelum kemudian menarik sebilah pisau buah yang baru dia beli satu minggu lalu.
Entah kenapa benda itu berhasil memagut atensinya. Sampai-sampai dia tidak taruh peduli pada tas backpack kulit sewarna tanah liat yang masih tersampir di punggungnya atau dengan kaos kaki dan pakaian bau keringat yang masih melekat. Pupil matanya membesar. Gemetar memang tidak menjalari sekujur tubuhnya, tetapi dia tidak bisa menampik eksistensi segelimang emosi yang meletup-letup di balik dadanya. Dia menggenggam pisau itu kian erat, lalu mengulurkan tangannya yang lain dalam gerakan pelan.
Nyaris.
Apa yang coba dia lakukan?
Sepersekon berikutnya, tahu-tahu Sana rubuh bersamaan dengan gemelentrang yang sejenak memecah hening di sepenjuru ruangan. Rinai-rinai mulai bermunculan dari balik matanya. Tangannya bergetar. Dadanya sesak. Suasana yang semula kosong kini mendadak diliputi teror. Sana menyandarkan diri ke tembok penuh coretan sembari mengeluarkan isakan paling senyap, masih dengan tas yang tersampir, kaos kaki, dan pakaian bau keringat.
Sebenarnya apa yang coba dia lakukan?
***
“Sana, kamu kenapa?”
Si empunya nama mengangkat alis. Pertanyaan semacam itu seringkali mendarat di telinganya saban bulan belakangan ini. Padahal tanggapannya tidak pernah berubah. Sana selalu menjawab, “Memangnya aku kenapa?” Lalu lawan bicaranya akan semakin kebingungan.
Dan Sana akan sama bingungnya. Sebab justru itu yang tengah dia pertanyakan kepada dirinya sendiri: bagaimana bisa dia memberikan jawaban atas pertanyaan yang masih sama-sama menghantuinya? Jadi dia hanya membuat si lawan bicara termangu. Tidak terkecuali Paul, teman kerjanya yang sejemang detik lalu mengajukan pertanyaan.
Namun
Paul tampaknya masih tidak puas. Dia mengobservasi presensi Sana intens.
“Mukamu pucat dan tatapanmu kosong. Boleh kulihat pergelangan tangan?”
Sana merasa terpojok. “Kenapa tiba-tiba pergelangan tangan?” tanyanya, mengernyit.
Paul tidak ambil pusing. Dia menarik lengan kemeja serampangan, lalu tiba-tiba membatu, seolah melihat pergelangan tangan Sana adalah hal tabu yang bisa menimbulkan kutukan. Dwinetranya tampak bergetar liar. “Sejak kapan … kamu begini?”
Ada banyak gurat kemerahan memanjang di baliknya, tampak baru mengering.
***
Dilihat dari sudut mana pun, cengiran lebar Sana tampak begitu tulus dan nyata – mengenyampingkan guratan hitam yang bergelayutan di bawah matanya. Cukup masuk akal kalau orang-orang di sekelilingnya menganggap dia baik-baik saja, sebab yang dia tunjukkan pada dunia memang begitu adanya. Kaget betul Paul ketika di beberapa minggu kemudian, Sana tiba-tiba mendeklarasikan keinginannya untuk menyudahi hidup dengan tatapan hampa dan nada sarat keyakinan.
“Kalau matiku disengaja, sudah jelas Tuhan akan marah, ya? Tapi aku tidak tahu harus bagaimana lagi selain melihat pada kematian yang tampak lebih menggiurkan untuk dilakukan,” jelasnya dalam sekali napas, seolah menyebut kematian dalam kalimatnya adalah hal remeh-temeh. Keheranan Paul semakin timbul.
“Mau bercerita?”
“Tentang?”
“Alasanmu
ingin mati.”
“Kamu
bertanya tentang ‘kenapa’?”
Diamnya
Paul dianggap Sana sebagai persetujuan.
Gadis
itu pun menarik sebelah sudut bibir. “Aku juga tidak tahu. Kata-kata di dunia
terlalu terbatas, sebab mereka bahkan belum bisa mengartikulasikan apa yang
sedang kurasakan.”
“Aku mau mendengarkan sampai kamu benar-benar menemukan kata yang tepat.”
“Kalau aku tidak juga menemukannya?”
Bola mata Paul tampak seperti rembulan di fase purnama begitu dia merajut tatap dengan milik Sana. Ketenangan tidak terdefinisi meliputi keduanya dalam sejemang waktu. Hingga pada akhirnya Paul membuka mulut, pandangannya tidak beralih sama sekali. “Akan kutunggu, diam maupun berkonversasi tidak ada bedanya selama kamu bisa merasa lebih baik.”
Perkataan Paul begitu magis, membuat relung Sana diselimuti gelesir dan kehangatan yang sulit dijabarkan. Dwinetranya memanas seiring dengan timbulnya semburat kemerahan di kedua pipi. Namun itu tidak lantas meluruhkan niatnya untuk memutus napas. Sudah terlanjur menggebu.
Baginya, eksistensi Paul adalah seteguk air di musim kemarau; kesegarannya sementara, sedangkan beberapa menit berikutnya kerongkongan Sana akan kembali dilanda kering kerontang.
***
First draft: March 19, 2023
Published: April 14, 2023
Nara's Note:
Padahal seharusnya saya fokus melanjutkan naskah yang sudah ditagih-tagih, tetapi ide-ide di dalam kepala saya sangat berisik. Lalu, sebenarnya nama tokoh peneman Sana itu bukan Paul pada awalnya (Paul nama tokoh yang saya gunakan untuk buku yang lain, yang sampai sekarang mangkrak bahkan untuk pembuatan outline wkwk) tetapi karena saya belum menemukan nama yang cocok, saya pakai itu dulu.
Bagi kamu yang secara sengaja atau tidak membaca ini, terima kasih banyak, ya! Tolong beri tahu saya kesan atau masukan yang kamu punya terkait cerita kali ini.

Komentar
Posting Komentar