[Cerita Pendek] Kutukan Higanbana
Kutukan Higanbana
Hanaranur
***
Seperti sihir, fragmen kaleidoskop itu sigap menyambut Ayaka bahkan sedari menapakkan kaki di halte bus tua. Tawa renyah, keringat, kolam renang di belakang sekolah yang sudah terbengkalai, kursi kayu panjang di bawah pohon rindang, dan ….
Kei.
Rasanya
masih begitu segar di memori.
“Sudah,
ah! Capek!”
“Ih,
payah.” Raut muka ditekuk masam, Ayaka menghampiri Kei yang sudah mencapai
bangku lebih dulu. Bocah laki-laki itu merebahkan badannya ke punggung kursi,
membuka tangan dan kaki lebar-lebar akibat kegerahan. Sebenarnya masih ada
spasi untuk Ayaka duduk di sampingnya, tetapi bocah perempuan itu memilih
berdiri dan bertolak pinggang.
“Belum
sepuluh putaran … aku nyaris mendahuluimu … tadi!” protes Ayaka dengan dada
kembang-kempis.
Kei
melirik, lalu tertawa kecil. Wajah Ayaka memerah dan berkeringat—yang padahal
kondisi wajahnya juga tidak jauh berbeda. “Ya sudah, kesini dulu,” pintanya,
menepuk-nepuk permukaan kursi yang kosong, tapi Ayaka tak langsung menurut.
“Mau
apa, sih?”
“Kuberikan
saja deh, hadiahnya.”
“Hah?
Tapi kan aku belum—”
“Mau tidak?”
tawar Kei dengan nada menggoda sembari menegapkan badan.
Ck. Sebetulnya Ayaka ingin mendapatkan
hadiah karena memang sudah menang, bukan semata-mata pemberian. Toh, Kei
sendiri yang memberi syarat: jika Ayaka bisa mendahuluinya lari sepuluh
putaran. Namun dipikir-pikir, tenaganya sudah terkuras. Jadi selama
menguntungkan, gengsi jadi nomor kesekian.
Selagi
Ayaka mendaratkan diri, bocah laki-laki sebelas tahun itu pun merogoh sesuatu
dari tas gendongnya yang digeletakkan di dekat kaki kursi. Krasak-krusuk yang
tercipta membuat Ayaka memiringkan kepala penasaran. Keningnya berkerut setelah
Kei berbalik.
“Nih.
Bagus kan?”
Setangkai
bunga. Batangnya Kei balut menggunakan kertas putih, kontras dengan warna merah
mahkotanya. Ayaka kira itu mawar, tapi jelas bukan. Kelopak bunganya ramping,
panjang, dan seperti ikal di ujungnya—sedikit terkulai—bertengger dikelilingi
cuatan mirip benang sari besar. Terkuar aroma wangi darinya, tapi entah mengapa
seperti mengandung unsur mematikan.
Ayaka
sering menemukan bunga itu—kebanyakan di pinggir sawah dan di sekitar pemakaman—tetapi
Ibu pernah berkata bahwa bagian bunga itu memiliki racun. Padahal dia suka
sekali dengan rona dan penampilannya; kelewat elegan. Namun jangankan memetik,
mendekatinya saja Ayaka jadi tak berani. Dia bahkan tak tahu namanya apa. Diberi
tahu tentang bahayanya, bocah laki-laki itu malah cekikikan.
“Buktinya
aku tidak apa-apa tuh, asal jangan dimakan,” katanya enteng, menarik telapak
tangan Ayaka pelan dan menyerahinya bunga tersebut. Menemukan senyum lebar
menyemburat di wajah semibulat Ayaka, Kei mantap mengimbuhkan, “Ayaka, janji terus
menemaniku, ya? Soalnya kamu sahabatku satu-satunya.”
Ayaka mengangguk girang tanpa pikir panjang. “Aku juga ingin bersama Kei terus!” balasnya polos. Semilir angin mempermainkan rambut kecokelatannya yang diikat ekor kuda.
Dan, tak berapa lama, kilasan masa lalu itu berhenti berputar. Mengantarkan dirinya pada kenyataan bahwa kini dia tengah berdiri tepat di dekat kolam tak terurus itu sebagai Ayaka dewasa.
Langitnya suram walau masih tengah hari. Koloni awan keabu-abuan berarak perlahan. Aroma musim gugur mulai menyeruak saat pepohonan bergemeresak tersapu angin. Suhu yang menghuni atmosfir pun terasa semakin dingin. Ayaka merapatkan mantel, mengembuskan napas dramatis.
“Aku datang, Kei,” katanya, parau. Bola matanya memanas saat menemukan bahwa kursi itu masih ada—kendati sebagian besar lapuk dan rusak digerus rayap. “Sekarang aku sudah kepala dua, tapi kamu masih sebelas tahun saja, ya. Padahal kamu satu tahun lebih tua.”
Padahal mereka sudah berjanji selalu bersama, tetapi keesokan harinya, bocah laki-laki itu malah tergantung tak bernyawa dengan badan dipenuhi luka. Ternyata Kei telah menutupi kekerasan ayahnya sedari lama. Hati Ayaka remuk dibuatnya.
“Ayahmu dipenjara, tapi itu tidak bisa membuatmu hidup kembali.”
Gadis itu merogoh sesuatu dari saku mantelnya, menatapnya lekat untuk beberapa saat
dengan pandangan pudar. Hingga, kendati gemetar, dia berhasil menodongkan
moncongnya di pelipis sebelah kanan.
“Hidupku
selama ini tidak tenang, tahu. Aku selalu merasa diawasi olehmu meski pindah ke
luar kota. Kamu berusaha menagih janjiku, ya? Kalau begitu—”
Ayaka
menjeda.
Lalu,
jleb.
Tubuhnya
ambruk. Cairan merah pekat mengalir liar dari kepalanya, mengotori rerumputan
yang dia timpa, seolah bunga pemberian Kei bermekaran dari sana—bunga higanbana.
Dan …
hening.
Kupenuhi janjiku ya, Kei.
***
“Ini bunga apa, Gin?” tanya seorang bocah perempuan yang tengah menghadap segerombol higanbana di dekat kolam bekas. Penasaran atas rumor tentang area belakang sekolah yang berhantu adalah alasan mereka datang kesana.
Gin menggeleng. “Entah.”
“Bagus ya, warnanya cerah.”
“Minami mau satu? Akan kupetikkan.”
“Mau!”
Lalu,
angin musim gugur mulai berembus selagi mereka merapalkan janji-janji—yang tak
satu pun tahu apakah bisa ditepati.
***
First draft: 27 Juni 2023
First published: 28 Oktober 2023
Nara's Note:
Sebetulnya ini adalah cerpen yang saya ikutsertakan ke dalam lomba bulanan salah satu penerbit dan memang sudah naik cetak sejak lama. Namun, berhubung masa PO bukunya sudah terlewat, saya publikasi di blog pribadi juga sepertinya tidak akan kena masalah. Semoga.
FYI, menulis cerpen ini tidak mudah karena jumlah katanya dibatasi hanya sampai 700 kata, sedangkan adegan dan alur cerita di kepala saya kompleks. Maka dari itu saya rasa hasilnya tidak maksimal karena saya harus membuatnya sepadat mungkin. Terakhir, seperti biasa, jika kamu punya sesuatu yang ingin disampaikan, saya sangat terbuka!

Komentar
Posting Komentar