Ruang Relung: Mengapa Aku Harus Hidup Seperti Ini?
Ruang Relung: Mengapa Aku Harus Hidup Seperti Ini?
11 September 2021
Hanaranur
***
Bagi siapa pun yang secara kebetulan--atau tidak--melihat (atau membaca) ini.
"Kenapa aku harus menjalani hidup yang seperti ini?"
"Kenapa aku tidak dibiarkan hidup sesuai yang kumau?"
Dalam waktu-waktu tertentu, pertanyaan-pertanyaan semacam itu pasti kerap kali singgah di pikiranmu, bukan? Aku tahu kamu berusaha menampiknya, tetapi sekalipun aku tertipu dengan penyangkalanmu, kamu tidak akan mampu membodohi relungmu sendiri. Perasaanmu tengah berkecamuk.
Kamu lelah. Namun bahkan, frasa lelah saja terdengar tidak mampu menjabarkan apa yang tengah kamu rasakan. Sekujur tubuhmu sakit; pikiran-pikiranmu mulai tidak terkendali; air matamu terus memberontak. Jauh di ruang relung terdalammu, kamu ingin berhenti dari kehidupanmu detik ini, dan menjalani hidup semaumu.
Seolah-olah dalam satu minggu, kamu hanya bisa meraup napas di hari Sabtu dan Minggu karena tuntutan pekerjaan. Akan tetapi jika kamu tidak bekerja, kamu takut tidak dapat bertahan hidup; kamu takut tunggakan keluargamu di rumah makin mencekik; kamu takut adikmu jadi putus sekolah; kamu takut akan cemoohan-cemoohan para tetangga.
Belum lagi dengan rasa iri yang merekah tatkala kamu menemukan orang-orang sudah mampu menggenggam impian mereka, sedangkan kamu dihadapkan dengan beraneka kesulitan untuk meraihnya. Begitu mendapatkan uang lebih untuk biaya kuliah, mendadak keluargamu ditimpa musibah. Atau baru juga kamu berhasil menabung sesuai target, adikmu memerlukan uang yang cukup besar untuk biaya sekolah. Layaknya permasalahan adalah tamu yang tidak tahu adab; terus mengunjungi hidupmu tanpa permisi.
Sialnya, semuanya bermuara pada hal yang sama: uang.
Dan hal itu pula yang membuatmu teramat jauh dari keluarga; bangun tatkala fajar menyingsing dan pulang begitu gelap sudah bertakhta; tidur di kasur kesayangan di rumahmu berubah menjadi sesuatu yang sulit dilakukan, padahal sebelumnya, kamu bahkan bisa menghabiskan sepanjang hari mencumbu kamarmu.
Banyak hal yang terenggut darimu, tetapi kamu bisa apa? Menyalahkan keadaan pun tidak memberikan secuil pun perubahan.
Kamu hanya ingin hidup dengan tenang.
Tanpa tagihan, tanpa keluhan orang tua terkait keuangan, tanpa takut akan dicemooh orang, tanpa rasa lelah dan rasa sakit tidak terdefinisi yang kerap kali menyerang ulu hati. Tanpa kehampaan dan sepi yang tidak pernah henti menghantui. Bukankah begitu?
Sebenarnya kamu bisa untuk memutuskan hidup semaumu. Kamu bisa berhenti membantu ekonomi keluargamu, kamu bisa berhenti mencari uang, kamu bisa saja tidak peduli akan biaya adikmu; kamu bisa pergi ke tempat yang kamu inginkan untuk kemudian menata hidup di sana.
Namun, hei, pernahkah terpikir olehmu, jika kamu benar-benar melakukan itu, bagaimana kekuatanmu akan terbentuk? Jika kamu melakukan itu, bagaimana kamu tahu cara dalam menghadapi bermacam-macam problematika? Jika kamu melakukan itu, apakah hidupmu nantinya ... masih pantas untuk disebut sebuah "kehidupan"?
Mengeluhkan yang kamu jalani adalah tindakan manusiawi. Akan tetapi, coba berhenti sebentar dan ulas kembali. Bukankah Tuhan ... selalu memberikan hadiah terbaik dari setiap hal yang sudah kamu lalui?
***
Nara's Note:
Semoga kamu baik-baik saja.

Komentar
Posting Komentar