[Cerita Pendek] Mogok
Mogok
Hanaranur
***
Mengenakan kaus kaki dengan terburu, Ina beberapa kali
melirik jam dinding berbentuk kotak di atas lemari. Jarum jam terpendeknya
nyaris menyentuh angka 10; tersisa sekitar belasan menit lagi untuk menepati
janji temu dengan teman-temannya. Sebetulnya ia tidak perlu bergegas. Toh
datang lebih lama dari waktu yang sudah disepakati bukan suatu yang asing di
negara ini, malah sudah menjadi budaya. Ina berpikir begitu sebab ia juga tak
ayal melakukannya. Namun tetap saja, kalau sudah siap pergi, kenapa harus berlama-lama?
“Berangkat sekarang?” Bu Sekar sejenak berhenti menyapu
teras tatkala mendapati putrinya keluar dengan pakaian rapi.
“Iya, Bu. Makin siang susah dapet angkot.”
“Loh? Gak minta antar sama bapak?”
Ina hanya menggeleng. Fokusnya kini tengah bertumpu pada
sepasang sepatu tali dengan warna hitam yang sudah luntur. Ia terus
mengenakannya dalam kurun waktu yang cukup lama bukan karena itu sepatu
favorit, tetapi memang tidak ada pilihan saja. Kebutuhan yang lain selalu sukses
membuatnya urung untuk sekadar membeli sepatu baru.
“Ina berangkat ya, Bu.”
Niat
hati hendak mencium tangan sang ibu, Ina justru mendengar decakan sirat
kejengkelan. Ya, sepertinya Bu Sekar belum mau memberi restu. Dan itu terbukti
dengan keningnya yang berkerut begitu menanggapi, “Buat apa atuh bapak kamu susah-susah beli motor kalau
kemana-mana masih naik angkot? Diantar aja, lumayan ongkos angkotnya bisa buat
tambahan jajan.”
“Bapak ‘kan lagi ngupas singkong di dapur?”
“Ah,
ngupas singkong mah bisa ditinggal
dulu.”
“Bu,
gak usah,” tolak Ina. Kali ini ia benar-benar kehabisan cara untuk mengutarakan
keengganan dengan sehalus mungkin. “Motor bapak suka mogok, Bu. Gimana kalau
nanti mogoknya jauh dari bengkel?”
“Ya tinggal didorong, Neng,”
jawab ibunya enteng. “Tungguin dulu, ibu panggil bapak. Gak akan ibu kasih uang
jajan kalau kamu keukeuh naik angkot,”
tegas sang ibu sebelum lenyap di balik pintu, membiarkan Ina mematung dengan muka
masam.
Bersikeras menolak akan menjadi tindakan bunuh diri jika ibunya
sudah begitu. Seumpama keputusan ibu sudah menjadi batu, Ina tentu tahu bahwa
tidak akan bagus jika ia bertindak sama. Jadi ia bungkam dan menurut saja, mau
tak mau. Itu pun masih dengan rasa dongkol yang bercokol di dalam hatinya.
Padahal, ya, bukan suatu kebohongan tatkala Ina berkata
bahwa motor bapaknya sering mogok. Bapak memang baru membelinya dua pekan lalu
dari seseorang yang bisa dibilang pelanggan setia. Tapi itu hanya motor tua bekas
pakai. Dan menilik dari kondisinya, Ina rasa lebih cocok disebut sebagai barang
rongsokan ketimbang motor second.
Mungkin nominal uang yang dikeluarkan dianggap “wajar” untuk seonggok motor
bekas, tetapi tidak bagi anak dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah sepertinya.
Setahunya, bapak bahkan harus mati-matian menabung dari hasil jualan tape yang
tidak seberapa, belum lagi memikirkan anak dan istrinya makan apa. Mengingat
kembali bagaimana si pemilik sebelumnya berkata bahwa motornya masih layak pakai,
Ina mendadak kesal bukan main.
Apanya yang layak pakai?!
Sial, andai punya uang segudang, sudah kulempar ke pembuangan sampah!
Sebenarnya ada banyak sekali rutukan yang ingin Ina rapalkan.
Namun harus ia tahan begitu mendapati sosok pria dengan uban yang mulai tumbuh di
rambutnya muncul dengan dua buah helm di tangan, bersama sang ibu yang mengekor
di belakangnya.
“Diantar kemana, Neng?”
tanya Pak Adi sembari menyerahkan helm.
“Ke rumah Mawar, Pak.” Nada suara Ina terdengar tak berminat.
“Tapi, emangnya bapak yakin motornya gak bakal bermasalah lagi?”
“Tenang aja, kemarin sudah bapak bawa ke bengkel.”
Si anak gadis itu mencebik, “Dua hari lalu juga bapak
bilang gitu, hasilnya tetep balik lagi ke bengkel.”
“Hush, Ina!”
Ibunya buru-buru menyela.
“Hahaha, iya, iya. Mungkin, kemarin lagi apes,” kekeh Pak
Adi, berusaha menetralkan suasana. Ia tahu betul betapa berbahayanya jika emosi
sang istri dibiarkan tersulut, terlebih air muka keruh putri kesayangannya
sudah dijamin memperburuk. Jadi, dengan senyum seteduh rembulan, ia melanjutkan,
“Kamu tunggu di depan, ya. Bapak keluarin motornya dulu.”
Si gadis—lagi-lagi—menurut tanpa babibu.
Saat mendengar tanggapan bapaknya, Ina betul-betul
berharap bahwa masalah seputar motor saban hari ke belakang—seperti tiba-tiba mati
di tengah jalan yang ramai atau rem tidak berfungsi—memang karena apes, tidak
lebih. Semoga hari ini gak mogok, semoga
bapak gak perlu ke bengkel lagi, ia terus memanjatkan do’a selama perjalanan.
Seolah “motor mogok” adalah hal yang paling menakutkan di dunia ini. Sebab,
hei, mana sudi ia mengulangi hal-hal buruk dan memalukan semacam itu?
Namun, sepertinya dewi fortuna juga sama tidak sudinya
untuk memihak motor ini.
Tanpa tedeng aling-aling, motor matic berwarna biru tua tersebut perlahan melamban sebelum pada
akhirnya berhenti. Jalan raya kali ini terbilang cukup ramai, tetapi masih
untung terdapat jarak dengan pengendara di belakang mereka. Sebab jika tidak,
barangkali kecelakaan tidak akan bisa dihindari. Secara refleks Pak Adi mencoba
menyalakannya kembali, berharap itu cuma gangguan kecil dan mereka dapat melanjutkan
perjalanan agar putrinya tidak harus terlambat. Sayang, hasilnya nihil.
“Tuh ‘kan, Pak ….”
“A-ah,
paling bensinnya habis. Neng turun
dulu, ya. Kita ke pinggir dulu,” titahnya, berusaha tenang. “Hati-hati banyak
kendaraan.”
Raut
muka gadis kelas 3 sekolah menengah atas tersebut tidak dapat didefinisikan.
Marah, kesal, sekaligus sedih sudah bercampur aduk. Selagi mengibaskan tangan ke
wajah kepanasan, Ina juga tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Beberapa
pasang netra tak ayal tertuju pada mereka. Ada yang sekadar melirik karena merasa
itu bukan urusannya, ada pula yang tampak asyik memerhatikan laiknya anak dan
bapak tersebut tengah mengadakan pertunjukkan di pinggir jalan. Membuat Ina
berpikir, ternyata rasa peduli sudah benar-benar punah di dalam setiap diri
manusia.
Sebab,
ayolah, kenapa mereka tidak memberikan bantuan?
Kesal
betul Ina sekarang. Dan itu diperparah dengan sekelumit kebencian yang muncul
di balik sepasang netra segelap malamnya tatkala ia mengobservasi lalu-lalang
kendaraan. Yang ia tangkap, mobil-mobil mengkilat nan mewah serta motor yang melaju
tanpa sedikit pun hambatan seperti mencemoohnya habis-habisan. Hal itu membuatnya
bertanya-tanya, apakah para penumpang mobil mewah pernah merasakan panas dan jengkelnya
harus berhenti di pinggir jalan karena motor butut yang mogok seperti ini? Jika
tidak, ia berharap semoga mereka mengalami yang lebih buruk. Mereka juga harus
merasakannya, pikir Ina begitu.
Ah,
sial. Andai saja keluarganya tak berada di strata menengah begini, mungkin
sumpah serapah semacam itu tidak perlu ia panjatkan.
“Neng harus buru-buru?”
Atensinya
langsung beralih pada sumber suara, dan seketika itu pula Ina merasakan
gelenyar nyeri pada hatinya. Bulir peluh tampak mengalir di pelipis bapak yang sudah
mulai keriput. Telapak tangannya juga kotor. Menyadari bahwa napas bapak
sedikit terengah, ditambah pemandangan seonggok motor dengan organ dalam
terurai, Ina yakin bapak sudah berusaha mati-matian.
“Gak
juga, Pak,” jawabnya. Demi Tuhan, Ina tak bermaksud seketus itu, ia hanya
bingung harus menggunakan nada bicara yang seperti apa di situasi semacam ini.
“Bensinnya
mah masih cukup. Bapak sudah coba cek
kabel dalam, tapi gak mau nyala. Mungkin karena tadi gak dipanasin dulu. Neng gak apa-apa, ‘kan, nunggu sebentar?”
“Bawa
ke bengkel aja atuh—”
“Motornya
kenapa, Pak?”
Seorang
pria dengan kisaran usia di atas kepala lima tampak mendekati mereka, sukses membuat
jawaban Ina tidak mengudara dengan sempurna. Ina pikir itu cuma orang lewat, tetapi
praduganya dipatahkan telak begitu bapak tersebut ikut berjongkok dan meneliti
motor sialan itu setelah bapaknya memberikan penjelasan.
Kedua
pria yang tak lagi muda itu tampak serius berbincang sesekali selagi memeriksa
kondisi motor. Ina dibuat kagum dengan si bapak tua yang menolong. Ia terlihat
piawai dalam menganalisa kerusakan. Mengenyampingkan penampilannya yang cukup
memprihatinkan. Kaus cokelat lusuh serta topi berbentuk jamur yang dikenakannya
sempat membuat Ina berpikir bahwa ia adalah seorang pemulung.
“Ini
mah harus dibawa ke bengkel, Pak, sepertinya
businya udah harus diganti,” katanya sembari bangkit selang beberapa menit. “Bapak
tinggal lurus saja dari sini, nanti belok ke gang sudah sampai.”
Mereka
pun beranjak menuju ke bengkel tersebut setelah mengucapkan terima kasih. Kali
ini kadar masam raut muka si gadis sedikit menurun. Ia ikut mendorong motor kendati
bapaknya sempat melarang. Entahlah. Peristiwa beberapa saat yang lalu menamparnya
cukup keras. Ina jadi teramat malu untuk melanjutkan episode keluhannya.
Lantas,
spekulasi tentang manusia yang sudah tak lagi memiliki kepedulian terhadap
sesama di dalam pikirannya luntur lambat laun. Ternyata bukan tidak ada, tetapi
ia saja yang tidak cukup membuka mata. Orang-orang baik masih bereksistensi. Dan
tentu, setelah beragam keluhan yang dilayangkan, Ina merasa ialah pengecualian.
Seharusnya ia bersyukur bisa merasakan naik motor, kelelahan, dan mendapatkan
momen berharga bersama sang ayah sementara tak sedikit di luar sana yang harus
berjuang bahkan hanya demi bertahan hidup.
Tanpa
sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Namun ego yang masih tinggi tidak langsung
membuat relungnya lunak begitu saja. Mendengar deru mobil dan motor di
sampingnya tetap saja membuatnya sebal.
“Maaf
ya, Neng, bapak belum bisa beli motor
yang bagus. Neng jadi terlambat.”
Ina
menghela napas. “Jangan gitu, Pak. Bukan salah bapak. Penjualnya aja yang
salah, harusnya dia gak nawarin motor bekas begitu.”
***
Nara’s
Note:
Berangkat
dari kekesalan saya terhadap kondisi motor bapak yang bisanya menguras uang
(soalnya harus terus ke bengkel, sedangkan bapak butuh untuk berjualan), saya
menulis ini dengan maksud untuk diajukan lomba—yang tidak lolos. Saya tidak
ingat persisnya ini ditulis kapan, tetapi kalau tidak salah, beberapa bulan
setelah saya masuk kerja. Saat itu saya bertekad untuk bertahan demi membelikan
bapak motor yang lebih layak—sayang mental saya tidak kuat, belum juga
terkumpul malah memilih resign.
Sejujurnya
kini saya paham mengapa ini tidak lolos—perasaan yang ditumpahkan tidak kuat,
diksinya membosankan, dan pesan yang saya selipkan kurang tebal. Mungkin ada kekurangan
lain yang tidak saya sadari. Namun begitu saya mengobrak-abrik draft naskah dan
menemukan ini, sayang saja rasanya jika hanya jadi konsumsi pribadi.
Semoga
ada pesan yang bisa kamu ambil dan terima kasih telah berkunjung!

Komentar
Posting Komentar