[Cerita Pendek] Obrolan Tentang Kepala dan Kebun yang Tidak Seharusnya (Cerita Pendek)
Obrolan Tentang Kepala dan Kebun yang Tidak Seharusnya
Hanaranur
***
Pada waktu-waktu
tertentu, aku pernah merasa tak habis pikir, mengapa orang-orang begitu takut
memiliki dua kepala? Padahal itu sama saja. Tidak berarti dunia milikmu
langsung menemui kata fana—kendati, ya, konsep usia: semakin bertambah angka,
semakin sedikit waktumu tersisa. Namun wajahmu tidak lantas keriput saat itu
juga—jika yang dikhawatirkan adalah perubahan di penampilan—yang berubah
hanyalah kepalamu menjadi ada dua.
Ya, tadinya aku berpikir
begitu, sebab aku belum merasakannya. Kini aku merasakannya. Dan sakit kerap
menjalar karena membawa dua kepala kemana-mana sangatlah tidak menyenangkan.
“Hidup di kebun yang
baru, bagaimana?”
Minuman yang terhidang di
hadapanku unik sekali; varian angkara di bagian bawah sewarna darah, krim
kewarasan menggunung di atasnya dengan taburan bubuk-bubuk sendu. Andai
temanku—yang sudah memiliki dua kepala lebih dulu sekitar dua bulan lalu—tidak
melontarkan pertanyaan, barangkali sudah tandas seisi gelas transparan itu.
Dia tampak serius
menunggu jawaban. Aku mengembuskan napas. Nada pertanyaannya serius sekali,
jadi kujawab juga secara demikian. “Rasanya aku paling menonjol di satu sisi,
tetapi juga paling rendah di sisi lain. Itu kebun yang bagus. Aku merasa
diterima disana, sejauh ini.”
Tampak tidak puas, Arifai
menyipitkan mata. “Aku tidak mengerti.”
“Hanya aku satu-satunya
yang memiliki dua kepala.”
“Tapi mereka juga segera,
bukan?”
“Memang,” timpalku,
mengangkat bahu. “Tapi masih sangat lama. Aku menonjol karena jadi kandidat
tertinggi untuk bertemu fana. Mungkin semacam … Tetua?”
Kuriositas Arifai masih
meretas. “Tidak terdengar bagus. Lalu merasa rendah, karena apa?”
“Bayangkan saja,
orang-orang sepertiku harusnya sudah di kebun yang siap panen—tingkat enam
seharusnya? Tapi aku baru bergabung di antara mereka yang baru ditanam.”
Sedetik setelah
mengatakan itu, kepalaku—dua-duanya—seperti dihunjam ribuan jarum beracun. Aku
ingin mendefinisikannya sebagai kesakitan, tetapi kosakata itu terlalu lemah
dan tidak relevan dengan apa yang sebenarnya aku rasakan. Pening, perih, berat,
sesak, dan perasaan seperti akan meledak tetapi tidak benar-benar akan meledak;
istilah apa yang cocok dari gabungan itu? Sontak aku mengerang selagi memegangi
dua kepala dengan dua tangan.
Dan jelas, kepanikan
meliputi Arifai. Wajah oval yang dipenuhi bekas jerawat itu memancarkan
kecemasan yang absolut. Dia berdiri dari duduknya dan segera berjongkok di
sampingku.
“Atur dulu napasmu!”
Begitu katanya tatkala menepuk-nepuk punggungku. Aku ingin membuncahkan
tawa—tak kusangka Arifai mengeluarkan kata-kata sebodoh itu terhadap orang yang
sekarat sepertiku—tetapi jelas saja tidak bisa. Kini seluruh tubuhku tengah
sibuk mencari solusi untuk mengusir pening, perih, berat, sesak, dan perasaan
akan meledak tetapi tidak benar-benar akan meledak dari dua kepalaku.
“Sering merasa begini?”
Arifai kembali duduk di hadapanku setelah memastikan aku kembali seperti biasa,
kendati tetap memegangi sebelah kepala.
“Ya,” sahutku lemah.
“Apa pemicunya?”
Praktis aku menyipitkan
mata. “Mungkin karena aku punya kepala dua?” kutimpali dengan pertanyaan, dan
Arifai tampaknya dongkol sebab dia memutar bola mata.
“Lihat, aku juga punya
dua!” tegasnya sambil menunjuk-nunjuk miliknya. “Tapi aku tidak kesakitan
sepertimu, tuh. Pasti ada pemicunya!”
Nada suara Arifai terlalu
tinggi sampai-sampai banyak pasang mata bertumpu pada kami. Beruntungnya mereka
langsung berpaling tidak berapa lama setelah memandang heran dan risi. Sebagian
ada yang menggerutu—aku melihatnya, dua orang perempuan berkepala tiga di meja
arah jam dua yang kini kembali bergibah—tapi tidak kuambil pusing.
Dengan begitu, kutatap
Arifai bingung. “Menurutmu apa pemicunya?”
“Ya mana kutahu?” Seperti
dugaan, dia mengendikkan bahu dan tampak kesal. “Kamu sendiri yang
merasakannya, malah bertanya padaku.”
Sekelumit asumsi
menyentil kepalaku—dua-duanya. “Apa mungkin … Karena aku takut punya dua kepala?”
“Tapi kan, sekarang kamu
memang sudah punya dua kepala!”
“Tapi kebun tempatku
berada sebenarnya bukan untuk si pemilik dua kepala.”
“Lalu kamu mau apa?
Berhenti bertani di sana?”
“Bukan keputusan bagus,”
aku menjawab spontan, “banyak yang telah kukorbankan demi bisa bertani di kebun
itu dengan harapan aku bisa memanen sukses di masa mendatang.”
“Ya sudah, kalau begitu
tidak perlu diperdebatkan,” Arifai menanggapi enteng. Sepertinya dia sudah iritasi
dengan topik ini berhubung aku sering membawanya ke dalam percakapan setiap
kali kita bertemu.
Saat aku masih berkepala
satu, obrolan tentang bertambahnya kepala selalu memantik kami untuk beradu
mulut; Arifai cenderung takut, aku yang menganggap enteng. Toh problema, stres,
depresi, dan krisis eksitensi bisa datang kapan saja, peduli setan kepalamu ada
berapa. Aku mengatakan itu berdasarkan fakta. Dan kurasa tidak hanya aku yang
sempat mengalaminya. Tapi Arifai selalu kontra dan bersungut-sungut, “Semakin
kamu punya banyak kepala, masalah-masalah dan pikiran-pikiranmu akan melipat
ganda!” Detik itu kupikir dia gila sehingga aku tidak taruh percaya. Namun
ternyata aku saja yang tolol.
Arifai benar.
Dan dungu betul aku
karena baru menyadarinya setelah menghabiskan dua-tiga tahun tenggelam dalam lautan
putus asa.
Cahaya oranye keemasan
menembus jendela kedai seiring matahari perlahan turun mencumbu ufuk barat. Aku
menenggak minuman kompleks itu sampai tandas—rasa manis, getir, dan sedikit trauma
membekas di ujung lidah—lalu bermaksud mengakhiri pertemuan mengingat besok
pagi aku harus kembali ke kebun untuk bertani. Kurasa Arifai juga punya
kesibukan lain dan meneruskan percakapan sampai malam tidak terdengar bagus,
bisa-bisa kami malah membuat retak hubungan—soalnya aku dan dia sama-sama punya
kepala batu.
“Kamu benar, bertambah
kepala itu menyeramkan, tapi kita tidak bisa menghindarinya. Maaf untuk yang
waktu itu, seharusnya aku tidak menyangkal. Aku pulang, ya,” aku mengutarakan
penyesalan sekaligus berpamitan.
Masih duduk di kursi,
Arifai mendongak padaku sambil memamerkan cengiran. Itu tipikal cengiran bangga
karena menyadari bahwa selama ini dirinya sudah benar. “Ya, kan? Kubilang juga
apa.” Dia mencibir, lalu mengimbuhkan dengan nada bicara lebih formal, “Tapi
jangan sampai itu menjadi hambatan. Kamu sendiri yang bilang kalau ingin memanen
sukses—itu buah yang langka, lo, dan merawatnya juga sangat sulit. Tidak semua
dapat melakukannya.”
“Ya, aku tahu.”
“Termasuk bertani di
kebun—tidak semua dapat melakukan itu.”
“Tapi punya banyak kepala
itu berat.”
“Memang.”
***
First being published: February 10, 2023
Nara's Note:
Tulisanku kali ini mengandung sentuhan surealis, jadi tidak heran jika seandainya menimbulkan persepsi dan interpretasi yang berbeda-beda--bahkan mungkin bisa saja kontra dengan persepsi yang kupunya. Sengaja juga kubiarkan ending seperti itu, sebab tidak semua akhir cerita harus benar-benar konkrit; aku tidak mau membatasi imajinasi orang. Jujur aku juga kesal dengan jenis open ending atau ending yang menggantung--entah novel, film, atau anime yang sedang kutonton--tetapi itu dulu, sebelum mengetahui esensinya.
Lalu, apa yang terlintas di pikiranmu? Kritik, saran, masukan, dan ulasan tentu akan sangat kuterima!
Terima kasih sudah berkunjung.

Komentar
Posting Komentar