Serangkai Kaleidoskop Biru Milik Perempuan yang Sempat Digauli Sendu (Sebuah Memoar)

 Serangkai Kaleidoskop Biru Milik Perempuan yang Sempat Digauli Sendu

Hanaranur


***


“Aku takut akan waktu.”

“Mengapa?”

Jawaban tidak sontak terlempar, sebab setelahnya, aku mendapatimu bungkam; mempersilakan hening menguasai atmosfer untuk sejemang. Ditilik dari caramu memperlambat ritme konversasi, aku sedikitnya paham bahwa ini tidak mudah bagimu.

Terlebih, sorot matamu sudah lebih dulu membenarkan asumsi itu. Terdapat banyak rasa sedih dan lelah tak terbantah bergeliat di baliknya. Binar semangat yang dulu sering kupuja, aku bahkan kelimpungan sendiri kemana perginya mereka. Kamu tampak begitu suram.

“Na, kenapa?” ulangku, berusaha memecah suasana sebelum kian membeku. “Apa salahnya waktu?”

Tanpa kuduga, kamu mengulas senyum, tetapi juga menitikkan air mata. Aku tidak tahu itu bentuk perasaan macam apa. “Dia sudah merenggut hal yang paling berharga bagiku,” ungkapmu.

“Hal berharga?”

“Ya. Tapi dia tidak peduli akan hal itu, dan malah terus berlari. Mengikis segala hal dalam hidup seseorang meski angka usianya kian bertambah.”

“Memangnya apa—”

“Kamu,” Laiknya petir menyambar bumi tanpa permisi, suaramu memotong secepat kilat. “Waktu sudah merenggutmu dariku; waktu sudah membawa Hana 15 tahun dan membiarkan Hana 18 tahun ini menahan rasa sakitnya.”

Dan dua detik setelahnya, bahkan tanpa membiarkanku melontarkan tanggapan, duniaku seketika berubah gelap. Tepat diiringi suara pecahan menyayat rungu yang entah dari apa sumbernya.

 

Ditulis 30 Januari 2021.

Hanaranur usia 18 tahun, dalam kondisi pikiran tidak terbenahi.

 

***

You’re getting old, Na. But you’re also getting weak. :)

23 Januari 2021.

 

***

Seolah mati adalah hal yang paling final untuk solusi kali ini.

3 Juli 2021

 

***

Emosiku tidak stabil, kendatipun aku sedang berusaha untuk memperbaiki itu. Yang bisa kulakukan hanya khawatir hari ini, lalu berusaha berpikir positif esok hari, sebelum kemudian aku khawatir lagi. Banyak hal yang kutakutkan, padahal semua itu tidak terjadi sesuai dugaan.

20 Agustus 2021

 

***

Suicide thoughts ini makin parah.

23 November 2021

 

***

Aku masih bingung sampai sekarang. Aku ini kenapa? Aku merasa kosong. Apa mauku? Sekarang aku sudah tahu dan punya niat bulat, tinggal menyesuaikan waktu. Tapi sejak kapan aku merasa sekosong ini? Aku belum tahu. Rasanya sudah lama sekali tapi aku tidak ingat kapan itu.

28 November 2021

 

***

I always think that it’d be great if I were gone.

7 Desember 2021

 

***

Let’s survive.

15 Desember 2021

 

***

Jika tidak adanya aku di dunia merupakan hal yang paling menguntungkan orang-orang yang kucintai, maka akan kusegerakan.

14 Januari 2022

 

***

 

Itu adalah segelintir—dari banyaknya ocehan, keluhan, dan tangisan yang kutuang lewat kata-kata, serta jelas, harapan-harapan kematian—yang terpampang jelas di salah satu media sosial privat yang kupunya. Sudah satu tahun lebih, tetapi aku tahu betul keadaan ketika menulisnya seperti apa. Putus asa, kosong, muak, ingin mengakhiri hidup tapi tak bisa, hilang akal, pikiran kusut, kesepian, dan segala perasaan buruk bercampur aduk, tetapi harus tetap menjaga kewarasan karena aku masih harus bekerja esok harinya. Kini aku membacanya dengan perasaan biasa saja, dalam keadaan baik-baik saja, sehingga sekilas kata-kata itu tampak terlalu dramatis—dan mungkin kamu menganggapnya sedikit gila.


Namun, aku tahu, diriku di usia 18 tahun tengah mati-matian mempertahankan kehidupannya. Aku tidak akan ada saat ini seandainya dia benar-benar memutuskan untuk menggores pisau dapur itu tepat di nadi.

 

Tak sedikit orang-orang berkata bahwa hidupku gemilang; mendapatkan pekerjaan di usia muda sebagai karyawan tetap dengan gaji melebihi UMR dibarengi lingkungan perusahaan yang positif. Akan tetapi seandainya mereka tahu aku nyaris gila saat itu. Jika memang yang mereka sebut gemilang adalah kedatangan pikiran mengakhiri diri setiap malam, menangis di pojokan kamar kontrakan setiap pagi, merasa kesepian hampir sepanjang hari, maka aku tidak tahu lagi harus menggunakan kosakata apa yang lebih baik.

 

Usiaku saat itu 17 tahun, 18 tahun, dan 19 tahun, tetapi tidak ada kata muda atau tua untuk merasakan depresi dan tekanan. Mungkin kini, aku seperti memberikan reaksi berlebihan ketika seseorang terlihat mengalami hal yang sama—yang diawali dengan menarik diri dari kehidupan sosial atau mereka berkata ingin menyendiri untuk sementara. Aku tidak berusaha pura-pura peduli pada mereka, aku hanya tahu seberapa sakitnya itu. Dan sekadar perhatian dari orang-orang adalah hal yang paling krusial, sehingga sebisa mungkin aku ingin memastikan mereka mendapatkan itu, agar usia belasan mereka tidak ternoda dengan suicide thought setiap malam.

 

Aku harap, kamu yang entah sengaja atau tidak membaca ini, dapat memaknai hidupmu dengan sebenar-benarnya. Menangis saja, akui rasa sakit itu, tapi jangan cari pembenaran atas pikiran-pikiran buruk tentang mengakhiri hidup sendiri.

 

Semoga kamu dapat bertahan.


Ditulis 8 Januari 2023.

Hanaranur usia kepala dua, dengan kondisi yang alhamdulillah jauh lebih waras dan baik-baik saja.

Komentar

Postingan Populer