[Cerita Pendek] Sekadar Teman Menyebrang Jalan

Sekadar Teman Menyebrang Jalan

Hanaranur

(Disarankan untuk sambil mendengarkan lagu berjudul "wish I didn't know you" dari SHY Martin atau "Angela" dari Flower Face agar kadar melankolisnya lebih kental. Terima kasih sudah berkunjung!)


***


Meskipun berdiri tepat di seberang jalan raya selebar lebih dari tujuh meter, aku masih bisa melihat cukup jelas bagaimana senyumnya merekah di balik dinding kaca tempat dia bekerja itu.

Dia tampak sepenuh hati menjaga beragam jenis hewan sampai orang yang merawat mereka kembali dan aku mengaguminya. Walaupun agak sakit rasanya ketika menyadari bahwa pemilik senyum itu bukan aku, melainkan hewan-hewan berbulu dengan warna bervariasi yang kini tengah dia elus-elus itu.

Beberapa orang di sampingku mulai bergerak ketika kuantitas kendaraan mulai merenggang—waktu yang tepat untuk menyebrang—tetapi tungkaiku tak mau diajak kompromi. Padahal mengikis jarak di antara kami bisa memberiku kesempatan untuk melihatnya lebih jelas, tetapi ia malah membiarkanku stagnan.

Seolah ia sadar betapa damainya ketika aku meneliti presensi pria itu dari jauh, sebab dia tidak lagi menemaniku menyebrang seperti beberapa waktu lalu.

Ya, beberapa waktu lalu; tak kusangka sudah selama itu.

Saat itu matahari tengah berusaha naik dari ufuk timur, arloji di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 8 pagi lebih beberapa menit, tetapi hiruk-pikuk kota sudah membludak. Karenanya aku harus menunggu lebih lama untuk bisa menyebrangi jalan raya satu arah yang lebarnya lebih dari tujuh meter ini—jika aku tak salah mengira.

Kebetulan tidak ada zebra cross, tidak ada lampu merah, tidak ada plang dengan simbol orang sedang menyebrang, dan kebetulan lainnya lagi aku cukup kesulitan menemukan waktu yang pas untuk menyebrang di jalan padat kendaraan.

Jujur aku sedikit kesal, kenapa para pengendara angkuh sekali tak mau sedikit memelankan laju kendaraan mereka untuk memberiku ruang berjalan? Nyaris sepuluh menit waktu kubuang hanya untuk berdiri, berharap lajur jalan bisa kosong beberapa saat. Lambat-laun leherku juga terasa pegal; sedari tadi menengok ke kiri, arah kendaraan bermunculan. Terdengar dramatis tapi begitulah kenyataannya.

Di satu sisi aku benci momen seperti ini, tetapi di sisi lain momen tersebut akan menjadi penghuni tetap memoriku. Sebab di saat itulah aku mengetahui bahwa orang sepertinya hidup di dunia ini.

Mengenakan jaket hoodie sewarna langit di hari yang cerah, dia tiba-tiba berdiri di sisi kananku. Menyadari kehadiran orang lain yang—sepertinya—sama-sama ingin menyebrang, sontak aku mendongak—dan mengobservasinya, sadar tidak sadar. Dia terengah dengan bulir peluh menghiasi pelipis, barangkali karena itulah rambut segelap arangnya juga terlihat sedikit basah. Sebuah asumsi muncul begitu saja di kepalaku setelah nyaris semenit meneliti presensinya, dan mendapati earphone tersumpal di telinga serta ponsel berada di genggamannya: dia mungkin habis olahraga saat itu.

Kurasa aku tidak memandangnya begitu lama, mengingat aku tak mengenalnya dan dia juga sebaliknya terhadapku. Tindakanku sebelumnya sebagai bentuk penasaran saja. Sebagaimana orang asing melihat orang asing lainnya ketika berada di ruang publik yang sama; paling-paling akan saling melupakan tak berapa lama kemudian.

Sayangnya, pria itu menoleh tanpa kuduga, membuatku buru-buru mengalihkan pandangan dengan rasa malu mulai menjalar—bagaimana kalau aku dianggap orang aneh? Dan itulah alasan mengapa kalimat “orang asing yang melupakan orang asing tak berapa lama kemudian” tidak bisa kuterapkan; presensinya terlukis kian jelas dalam skenario hidupku.

Suasana canggung sempat hinggap di sekelilingku, beruntungnya deru kendaraan dan suara gaduh dari aktivitas kota yang sudah sibuk sejak pagi buta cukup membantu meredamnya.

Aku berusaha bersikap normal dan menengok ke arah kendaraan bermunculan—di sisi kiri—agar aku bisa memperkirakan waktu terbaik untuk menyebrang sekaligus bisa menyembunyikan urat malu. Namun betapa mengejutkan, dia malah berpindah posisi.

Tangannya melambai ke arah kendaraan yang akan melintas, mengisyaratkan agar mereka sedikit memelankan lajunya selagi tungkainya mulai bergerak, lalu dia menoleh ke arahku sambil mengangguk.

“Ayo, hati-hati,” begitu sekiranya yang berhasil kuterjemahkan berdasarkan gerak bibir ranumnya.

Setelah kupikir-pikir, saat itu aku seperti orang dungu. Padahal dibantu seseorang untuk menyebrang jalan padat kendaraan sama sekali bukan hal istimewa, terlebih tampaknya dia lebih tua beberapa tahun dariku—tindakannya bisa saja seperti seorang kakak laki-laki yang tengah mencoba melindungi adik perempuannya—tetapi jantungku berdetak dua kali lipat lebih cepat detik itu.

Saking dungunya, begitu kami berhasil sampai di seberang dan dia sedikit membungkuk padaku sebelum hilang di balik pintu kaca sebuah bangunan yang tak begitu kusadari itu tempat apa, aku malah bungkam alih-alih berterima kasih.

Kupikir perasaan itu hanya sebentar, mengingat alasannya membantu jelas karena melihatku sebegitu tidak mahirnya menemukan celah yang tepat untuk menyebrang.

Akan tetapi kami berdiri di tempat yang sama beberapa hari kemudian—masih sebagai orang asing. Bedanya, dia sudah berpindah ke kiri lebih awal, tidak lagi terengah dan berkeringat, serta mengenakan kemeja bergaris vertikal putih-abu alih-alih jaket hoodie berwarna biru.

Pria berambut segelap arang itu tampak lebih formal, dan perbedaan usia di antara kami lebih mencolok.

“Terima kasih.” Tinggi badanku tidak sepadan dengan tingginya sehingga aku harus mendongak ketika mengatakannya—dengan agak gemetar sebab tiba-tiba jantungku kehilangan kendali.

Keningnya sedikit mengerut tatkala menoleh, membuatku buru-buru menambahkan, “W-waktu itu sudah membantuku menyebrang, mungkin kakak masih ingat. Aku lupa mengatakannya.”

“Oh, iya,” ekspresi pria tersebut pun mulai mencair seiring dengan naiknya kedua sudut bibirnya, “tidak apa-apa, itu bukan masalah besar.”

Aku turut tersenyum sembari membungkuk sekilas, menghargai kebaikannya walau sedikit terlambat. Kami kemudian sama-sama mengalihkan pandang, dia fokus pada munculnya kendaraan sementara aku menunggu aba-aba darinya untuk menyebrang selagi menatap lurus ke depan.

Itu kali kedua dia menemaniku menjejaki jalan selebar lebih dari tujuh meter yang cukup dipadati kendaraan, tetapi kali pertama kami membangun percakapan.

Sebelumnya aku sempat mengeluh karena menyebrang jalan adalah hal yang paling kuhindari tetapi itu satu-satunya cara menuju tempat kerja baruku, tidak ada alternatif lain. Namun semenjak dia datang dan jadi temanku menyebrang, kegiatan tersebut kini jadi bagian kesukaanku.

“Kerja di sekitar sini, ya?” Pandangan kami sejenak saling bertubrukkan ketika dia melontarkan pertanyaan itu pada kali ke sekian kami sama-sama akan menyebrang.

“Eh? I-iya, Kak,” jawabku selagi mengangguk kikuk, sedikit terkejut karena dia buka suara lebih dulu.

“Oh begitu …,” dia manggut-manggut, “saya belum pernah melihatmu sebelumnya, tapi akhir-akhir ini kita sering menyebrang di jam yang sama.”

Untuk sejemang waktu aku mematung saat mendengarnya menggunakan “saya” sementara aku menggunakan kata “aku” ketika kami berbicara pertama kali; aku merasa sudah tidak sopan. “Soalnya kebetulan s-saya baru dipindahkan, Kak, hehe. Sekitar seminggu yang lalu,” timpalku, pada akhirnya ikut memakai pilihan kata yang sama.

Dia tampak antusias. “Oh ya? Di mana?”

“Tidak jauh dari sini, Kak. Sekitar lima menit jalan kaki.”

“Saya kerja di sekitar sini juga,” timpalnya, mengarahkan jari telunjuk pada sebuah bangunan gaya minimalis berdinding kaca—yang sebelumnya tak kusadari kalau itu adalah tempat penitipan hewan—sambil berkata, “Kamu bisa lihat tempat penitipan hewan itu?”

“Kakak bekerja di sana?”

“Ya.”

“Wah, pasti Kakak penyuka hewan, ya?”

Matanya membentuk bulan sabit ketika tertawa kecil menanggapi pertanyaanku yang sebenarnya basa-basi. Dia mengangkat bahunya yang lebar tatkala menjawab, “Begitulah.”

Sebenarnya aku sangat menikmati percakapan ini, tetapi tak bisa kuteruskan. Antara harus merasa lega karena jalan sudah mulai renggang kendaraan atau kesal karena obrolan kami terhenti, agaknya lebih baik aku tidak merasa lega sama sekali.

Namun dia sudah mengambil langkah, melirik ke arahku sebentar dan memberiku isyarat untuk mengekorinya seperti biasa, dan aku mau tak mau harus puas dengan durasi percakapan yang tidak seberapa lama. Padahal suaranya terdengar menenangkan ketika berlabuh di gendang telingaku. Kapan pun dia berbicara, akan dengan sangat senang hati aku mendengarkannya.

Mungkin agak tidak masuk akal ketika kami bahkan merupakan orang asing bagi satu sama lain, hanya bertemu di waktu-waktu tertentu dalam durasi yang tak lebih dari 30 menit, tak pernah mengobrol panjang lebar, tetapi setiap kali dia muncul, kehadirannya selalu ampuh membuat dada berdebar. Aku juga belum sepenuhnya mengerti; dia hanya sekadar teman menyebrang jalan, tetapi kenapa perasaan ini terus bermekaran?

Kini pertemuan kami semakin sering. Aku semakin bersemangat untuk menyebrang—sampai pada titik di mana aku memilih terlambat masuk kerja dengan menunggunya datang ketimbang menyebrang sendirian.

Seperti pada saat itu, ketika hujan pertama kali turun semenjak dia menjadi temanku menyebrang. Kebetulan sekali aku sudah berdiri di pinggir jalan, tidak membawa payung atau jas karena sebelumnya tidak ada tanda-tanda akan hujan. Demi Tuhan, pada awalnya aku berniat untuk mencari tempat berteduh sembari menunggunya datang. Hanya saja belum juga berbalik, tahu-tahu rintik hujan di atasku, benar-benar hanya di atas kepalaku, hilang.

Sontak aku mendongak, mendapati dia tengah menggenggam gagang payung kelabu yang kini melindungiku dari basah kuyup.

“Te-terima kasih, Kak.”

Dia menoleh. “Eh? Tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja, ‘kan?”

Aku agak kaget dengan pertanyaannya. “I-iya, baik.”

“Tidak basah kuyup?”

“Um, sedikit.”

“Serius?” tanyanya, “Kalau tidak nyaman, saya bisa pinjamkan baju ganti. Kebetulan saya punya rekan kerja wanita yang tinggalnya di sekitar sini. Saya rasa dia juga tidak akan keberatan.”

Eh?

Karena dia notabenenya orang asing, kurasa bantuannya selama ini terlalu berlebihan, meskipun di satu sisi tak kutampik bahwa itu sangat membahagiakan. Namun jika dia terus menunjukkan kebaikan seperti ini … apakah tidak terpikir sama sekali olehnya bahwa aku bisa saja salah memahami itu semua?

Aku buru-buru menggeleng, menolak dengan menegaskan bahwa aku baik-baik saja. Raut mukanya masih menunjukkan secuil kekhawatiran tapi dia juga tidak memaksa.

Pada saat kami sudah menyebrang dan dia berada tepat beberapa langkah di depan tempat kerjanya, aku sebenarnya bermaksud untuk mengajukan pinjaman payung. Namun belum juga buka mulut, pria itu lebih dulu membiarkanku mengambil alih pegangan sambil berkata setengah berteriak—karena gemuruh hujan cukup mengganggu, “Kamu bawa dulu saja. Kembalikan nanti kalau kita bertemu lagi, ya!”

“T-tapi kalau kakak perlu bagaimana?”

Alisnya bertaut. “Tempat kerjamu lima menit jalan kaki dari sini, ‘kan?”

“Iya, um … tapi—”

“Kamu lebih perlu,” potongnya dengan sedikit aksentuasi, sebelum kemudian berlari menembus rintik hujan setelah memungkas, “hati-hati di jalan, ya! Saya duluan.”

Untuk sejemang sekon di sana, aku mematung, memperhatikan punggungnya menjauh dan menghilang di balik pintu kaca itu. Segelintir perasaan tak terdefinisi hadir di dalam relung begitu aku merasakan kehangatan dari bekas genggamannya di gagang payung. Mengeratkan genggamanku sendiri, tungkaiku baru bisa bergerak menjejaki jalan basah ketika presensinya benar-benar raib dari pandangan.

Hujan tidak lagi turun di hari pertemuan kami berikutnya, alih-alih, langit begitu biru dengan beberapa gumpal awan yang tampak seperti kapas-kapas beterbangan. Mereka tampak riang, tahu saja kalau aku juga merasa begitu tatkala dia memunculkan diri dan melontarkan sapaan.

Aku buru-buru menyerahkan payung lipat yang sempat kupinjam sebelumnya sambil berterima kasih. Hanya saja bukan menerimanya, dia malah tertawa renyah. Sontak keningku berkerut. Dan ibarat disiram air kutub sekujur badan, aliran darah sekaligus jantungku seolah berhenti berfungsi tatkala mendengar apa yang dia katakan di detik kemudian.

“Untukmu saja, kelihatannya kamu lebih perlu. Saya masih punya payung lain.”

“Loh, eh?” Lidahku rasanya kelu dan dia berhasil membuatku gelagapan. “Sa-saya juga baik-baik saja kok, Kak. Rasanya berlebihan kalau Kakak memberikannya.”

“Eh, tidak. Saya juga baik-baik saja.”

Hatiku yang tidak baik-baik saja.

Tanpa sadar aku mengulum bibir, entah kenapa kutahan untuk tidak memekarkan senyuman meskipun sebenarnya itu yang ingin kutunjukkan. Barangkali karena masa kerjaku di daerah itu akan berakhir sebentar lagi. Aku benci terus dipindah, tetapi akan lebih benci jika aku harus mencari pekerjaan lain.

Anehnya, aku malah mengatakan hal tersebut padanya karena merasa perlu, padahal dia bukan siapa-siapa—lebih tepatnya, tidak menganggapku sebagai siapa-siapa. Dan tebak apa yang paling aneh? Dia tampak terkejut, seolah kami adalah teman lama yang akan saling mengucapkan selamat tinggal karena harus menempuh jalan hidup yang berbeda—atau itu cuma delusiku saja?

“Kamu bahkan belum genap dua bulan bekerja di sini, ‘kan?”

Aku mengangguk pelan. “Perusahaan tempat saya bekerja memang banyak cabangnya, Kak, kebetulan saya salah satu karyawan yang sering dipindah-pindah.”

 “Namamu siapa?”

Eh?

Sebenarnya aku telah bersiap untuk berterima kasih atas segala kebaikan—termasuk payung yang dia berikan—setelah sebelumnya memilah perkataan untuk diutarakan sebagai salam perpisahan, tapi frasa itu hanya sampai di kerongkongan dan berujung tertahan. Sebab apa yang dia lontarkan terdengar begitu fiktif. Serius dia … bertanya itu? Lebih dulu?

Jujur, itu sangat mengejutkan. “M-Mina,” kataku, terbata, “Song Mina.”

Lalu dia mengangguk-angguk. “Nama yang bagus.”

“Kalau … Kakak?”

“Kim Seokjin,” katanya lugas, menoleh ke arahku lalu tersenyum, “Panggil Jin saja.”

Kim Seokjin. Jin.

Dari detik itu, nama tersebut menjadi penghuni tetap laci di memoriku. Lengkap dengan sepotong fragmen di mana kami saling memberi tahu nama satu sama lain ini. Tak peduli deru kendaraan menguasai auditori, suaranya tetap menjadi yang paling jelas di telingaku.

Sempat ada jeda canggung yang menyelinap di antara kami, sebelum kemudian dia kembali buka suara. Sama sekali tidak kuduga bahwa rasa sakit luar biasa tengah menunggu untuk segera memasuki relungku pada saat itu.

“Boleh … Saya mengatakan sesuatu?”

Aku menunjukkan raut muka antusias alih-alih menjawab dalam bentuk kata-kata. Itu cukup untuk membuatnya sadar bahwa aku bersedia mendengarkan. “Saat bertemu pertama kali, sejujurnya saya kaget.”

Keningku mengerut. “Pada … saya?”

“Ya.”

“Kaget karena apa—”

Dia memotong cepat, “Kamu mirip dengan adik perempuan saya,” jeda menyelinap, raut mukanya memancarkan keengganan, seolah ada jutaan rasa sakit yang tengah dia tahan, “yang sudah meninggal empat tahun lalu.”

Dalam beberapa detik, duniaku seolah berhenti berotasi.

Antara turut berduka cita atas kesedihan dan kehilangan yang dia rasakan dan turut berduka cita atas padamnya harapan yang kugantungkan, aku bingung harus menunjukkan ekspresi yang bagaimana. Setelahnya dia meminta maaf karena sudah meneteskan kesenduan di momen perpisahan kami—yang seharusnya dia pikir akan lebih baik jika kami mengakhiri pertemuan dengan kenangan yang menyenangkan.

Kuakui itu memang tidak menyenangkan. Hatiku patah di tengah hari yang cerah. Sebab pernyataan itu lebih terdengar seperti penegasan bahwa aku tidaklah lebih dari sekadar adik perempuan baginya.

Tidak lebih.

Untuk tiga hari kemudian kami masih menyebrang seperti biasa. Tidak ada yang berubah, kecuali—mungkin—perasaan yang tengah berusaha kunetralkan. Selama kami berkomunikasi, dia tidak pernah sekalipun menyinggung soal orang yang dia suka. Aku juga tidak melihat binar spesial terpancar dari matanya untuk sosok tertentu. Mungkin dia memang memiliki satu nama dalam hatinya, tetapi aku tidak termasuk ke dalam daftar orang yang berhak diberi tahu.

Astaga, lagipula siapa aku?

Seluruh kaleidoskop mengenai pria bernama Kim Seokjin—seorang pekerja di penitipan hewan yang usianya beberapa tahun di atasku—sontak berhenti berputar tatkala truk berwarna merah melintas di depanku dengan suara klakson yang membahana. Pandanganku terblokir untuk beberapa detik. Kemudian air muka secerah langit di siang hari muncul setelahnya. Dia menyunggingkan senyum, tampak begitu senang menggendong kucing gendut berbulu hitam-abu itu. Betapa aku bersyukur karena tempat penitipan hewan itu menggunakan kaca transparan sebagai dindingnya.

Sadar waktuku sudah tiba, refleks aku melangkah mundur. Arahku pulang berlawanan dengan tempatnya bekerja. Maka, ya. Ini merupakan kali terakhir aku melihatnya.

Pada akhirnya kami hanya sebatas teman menyebrang jalan. Tapi tidak apa-apa. Kuharap dia tidak melupakanku, seperti aku yang berniat tidak akan melupakannya.

 

***

 

Written: 6 August 2022

First being published: 11 January 2023


Nara's Note:

Alur cerita di atas tidak sepenuhnya diangkat dari kisah nyata, ya. Baik dari segi tempat, percakapan, maupun orangnya. Itu murni dari imajinasi saya karena terinspirasi dari kejadian yang dialami sendiri.

18 Mei 2022, satu hari sebelum saya melaksanakan UTBK, singkatnya saya di Bandung dan berniat untuk menyebrang. Sayangnya waktu itu saya sendiri dan tidak mahir menyebrang di jalan raya Bandung yang nyaris selalu padat. Saya kelimpungan luar biasa. Beruntungnya saya melihat ada yang mau menyebrang juga, laki-laki, mungkin usia dua puluh ke atas--saya masih 19 saat itu. Namun, tidak lama kemudian, dia melirik ke arah saya sebelum berpindah posisi (sebelumnya di kanan, tetapi jadi di kiri, arah kendaraan bermunculan). Kami tidak berkomunikasi sama sekali karena toh tidak saling mengenal. Lalu dia melambaikan tangan ke arah kendaraan yang mau melintas sambil sedikit demi sedikit melangkah, menuntun saya juga untuk mengikutinya. Setelah itu, kami berpisah di persimpangan. Seharusnya saya mengucapkan terima kasih. Tapi tidak sempat. Perihal suka atau tidak, perasaan saya netral. Toh saya tidak jarang mendapat perlakuan yang sama dari ibu-ibu atau bapak-bapak baik hati. Hanya saja saya sangat bersyukur karena merasa dia telah melakukan hal sederhana yang hampir dilupakan orang-orang pada umumnya--khususnya usia-usia remaja-dewasa.

Omong-omong, terima kasih telah membaca! Kalau kamu ada komentar, tolong beri tahu saya, ya! Mau mengobrol dan berbagi pendapat pun saya tidak masalah.
Bunch of loves for you. <3

Komentar

Postingan Populer