[Cerita Pendek] Bagaimana Jadinya Jika Pernikahan dan Pemakaman Dilakukan di Hari yang Sama?

 Bagaimana Jadinya Jika Pernikahan dan Pemakaman Dilakukan di Hari yang Sama?

Hanaranur


***


             Seikat kangkung terkulai layu di dalam kantung keresek bening yang tergantung di dinding dapur. Beruntung sekali dua buah tomat, satu siung bawang merah, dan beberapa buah cabai yang menemaninya tidak membusuk, cuma sedikit mengerut. Ana sempat menyesal tidak langsung memasaknya sejak dibeli kemarin pagi, atau karena tidak memasukkannya ke dalam lemari pendingin. Menelantarkan dengan dalih tidak sempat dan tidak berminat, sebab pekerjaan (dan segala hal yang berkaitan dengan lingkungan kerjanya) benar-benar menguras tenaga—juga batinnya.

Untuk sejemang waktu yang dia lakukan cuma stagnan dengan tatapan tidak bertuan. Merasakan dengan khidmat rasa pening yang masih menghuni kepala dan linu di sekujur tubuh. Sudut bibirnya berwarna kebiruan, dia meringis menahan perih. Kondisi wajahnya buruk sekali. Gurat hitam di kantung mata tidak raib sekalipun dia sudah membilas muka dan tidur dua jam lebih lama dari biasanya—bahkan berani melewatkan salat subuh.

Ana sempat berpikir untuk memasak kangkung layu itu selagi—dalam pandangannya—masih bisa dimasak. Toh, belum sampai mengering. Namun, dia sama sekali tidak berselera makan. Mungkin pada akhirnya dia akan membiarkan uangnya berubah wujud menjadi sayuran busuk.

Setelah menghabiskan sekitar lima menit untuk melamun, Ana memutuskan untuk ke kamar mandi, menyuci pakaian kotor, lalu berniat membersihkan kamar kost. Gadis itu merasa akan lebih baik jika melakukan sesuatu yang produktif. Sekalipun harus berkeringat padahal dia sudah mandi dan lelah dan makin linu, tidak apa-apa, selagi itu bisa membuat pikirannya teralihkan dari sisa-sisa rasa sakit (yang didapat dari teman-teman dan senior-senior-nya di tempat kerja, terima kasih) untuk beberapa saat.

Cara dengan menyibukkan diri itu cukup berhasil. Otaknya terasa kosong untuk belasan menit, sekosong sorot kedua matanya yang berwarna kecokelatan begitu duduk bersandar di tembok saat tidak ada lagi yang bisa dirapikan.

Sekarang, apa? Ana membatin di sela terengah-engah. Akankah adegan penyiksaan itu muncul kembali di memorinya jika dia berhenti bergerak?

Tak lama, ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas meja portabel di sudut kamarnya berdering. Ana agak terlonjak sebab kesunyian dalam gendang telinganya mendadak pecah, demikian pula dengan lamunannya—mungkin ini lamunan yang kesekian.

Tertera nama ibunya di layar. Seketika Ana sadar. Saking berusaha keras mengosongkan pikiran membuatnya hampir lupa dengan orang-orang di rumah dan rencana pulang kampung.

Abangnya akan menikah lusa.

Neng?”

Sudah cukup lama Ana tidak mendengar suara Ibu. Terakhir kali adalah saat hari raya. Sama-sama lewat telepon, durasinya sekitar sepuluh menit. Dan hari raya sudah terlewat sekitar tiga bulan lalu. Bahkan bisa lebih lama beberapa hari dari yang Ana ingat. Itu sebabnya mendapat telepon dari Ibu saat ini bak mendapat durian runtuh. Ibu yang menelepon, Ibu berinisiatif menghubungi lebih dulu. Setelah sekian purnama, setelah Ana berulang kali urung menekan tombol memanggil di ponselnya demi mendapatkan panggilan terlebih dahulu.

Bola matanya memanas perlahan. “Ya, Bu,” sahutnya setelah bungkam selama tiga detik, terdengar seperti tengah menahan sesuatu.

Sekarang dimana? Sudah di jalan?

“Belum, Bu.”

Loh, belum?” Memang tidak terlihat oleh Ana, tetapi gadis itu yakin ibunya sedang mengerutkan kening—sedikit karena bingung, sisa lebihnya karena kesal. “Sudah mengambil cuti, ‘kan, dua hari ke depan? Abang kamu menikah besok, loh, Neng. Sudah dikabari, ‘kan? Lupa, kamu?

Tidak. Ana tidak lupa. Hanya saja memori tersebut tenggelam, tertumpuk, terkalahkan oleh memori-memori baru—yang terus tercipta setiap kali dia habis bekerja. Memang tidak setiap hari, tetapi dalam satu minggu, sudah pasti tubuh Ana mendapat rasa sakit baru.

Ana selalu berpikir untuk segera memutus kontrak, dengan begitu dia bisa memutus kesengsaraan. Namun, itu artinya dia juga akan memutus sumber uang. Bapak dan Ibu tidak akan senang. Ana tidak mau kembali menjadi tanggungan di masa tua mereka atau membuat tidak senang. Mencari pekerjaan tidak semudah mencari kerikil di sungai, dia juga mempertimbangkan hal itu. Pada akhirnya pemutusan kontrak kerja sekadar menjadi wacana.

“Maaf, Bu.” Suaranya mulai serak dan sekujur tubuhnya gemetar. Mungkin karena belum ada makanan yang masuk ke dalam perutnya, mungkin juga karena dia sudah tidak bisa menahan ledakan dari lumbung hatinya. Ana lantas segera mengimbuhkan sebelum ibunya lebih dulu dilahap kesal. “Aku akan segera pulang.”

Ya, ya, ibu cukup repot disini, akan lebih baik kalau kamu pulang lebih awal. Oh, ya, kalau bisa ibu minta uang tambahan. Kiriman darimu bulan lalu masih kurang.

“Iya.”

Kalau sudah sampai di terminal, hubungi saja. Biar dijemput bapakmu. Lebih cepat ketimbang kamu naik kendaraan umum dari sana.”

Lagi-lagi, Ana cuma membalas dengan: “Iya.” Lalu sambungan telepon berakhir. Bukan Ana yang mengakhirinya, tetapi Ibu. Si gadis refleks mengembuskan napas kasar, menaruh ponselnya ke tempat semula dalam gerakan lemah, lalu menyeka sisa-sisa air yang sedari tadi keluar dari matanya tanpa dia sadari.

Mendadak gegap gempita dalam hatinya luntur dihujani rasa kecewa.

Ibu sama sekali tidak menanyakan kabarnya. Sama sekali. Bahkan Ana sendiri tidak diberi kesempatan untuk berusaha menanyakan kabar Ibu lebih dulu. Padahal, Ana sudah menunggu lama. Apakah mungkin, Ibu sudah lupa bagaimana cara bertanya kabar seseorang?

Ana meringis tatkala berusaha berdiri. Sekujur badannya sakit sekali. Luka di sudut bibirnya, entah kenapa, turut memberikan sensasi perih, padahal dia tidak membuka mulutnya lebar-lebar. Namun, dia dituntut untuk abai akan kesakitan, sebab ada rencana pulang yang harus segera dipersiapkan.

Dengan kaki yang bergetar, wajah suram, pakaian serba tertutup—mengumbar luka-luka di tubuhnya bisa memunculkan pertanyaan dari orang-orang yang tidak berkepentingan—gadis itu lantas pergi ke toko perkakas. Salah satu yang dia minta pada bapak tua penjaga toko adalah tali yang kokoh, dengan penekanan di kata kokoh. Si bapak tua kebingungan mendengarnya, meski tetap mengabulkan juga permintaan Ana.

“Buat apa, Neng?”

Ana tersenyum. Perih kembali menjalar. “Persiapan, Pak. Saya mau pulang, sebentar lagi.”

***

Aeni uring-uringan.

Pengantin pria, yang tak lain anaknya, sudah siap untuk diiring ke pelaminan dan duduk berdampingan bersama si calon pengantin perempuan. Demikian dengan para kerabat, sudah sempurna dirias dan masing-masing membawa bingkisan. Mereka bersuka cita, tertawa-tawa. Tidak sabar berburu makanan di prasmanan atau berjingkrak saat sesi hiburan. Namun, Aeni bahkan menolak dirias. Wajahnya yang banyak kerutan semakin buruk karena dia uring-uringan.

“Belum ada kabar, Bapak. Si Ana belum ada kabar! Sedari kemarin ditunggu-tunggu. Uang kurang, tenaga kurang. Sudah aku katakan padanya, aku butuh bantuan. Tapi sampai sekarang, dia tidak ada kabar!”

“Mungkin sedang di perjalanan. Kalau dalam setengah jam belum ada juga, mau tak mau kita laksanakan akad tanpa kehadirannya.”

Sang suami berusaha menenangkan dan hanya itu yang dapat keluar dari mulutnya. Dia menepuk-nepuk punggung Aeni, melirik ke luar rumah, merasa gelisah. Para kerabat tampak sudah risi, bergerak kesana-kemari, wajah-wajah yang semula antusias perlahan dikerumuni jenuh. Riasan tebal mulai luntur diterjang keringat.

“Atau kita lapor polisi?” Aeni putus asa. “Kurasa tabungannya banyak, gaji di pabrik otomotif biasanya besar. Bisa jadi dia memilih kabur karena tidak mau membantu?”

“Darimana pemikiran semacam itu? Tidak mungkin.”

“Bapak, hari sudah semakin siang!”

“Kalau begitu kita berangkat dulu. Lalu lapor polisi setelah acara selesai, setelah 24 jam.”

Aeni berhenti uring-uringan. Tawaran tersebut cukup membuatnya diam dan menurut. Dia mulai mengenakan kebaya, merias wajah, membawa tas jinjing, bersiap pergi dengan rombongan yang sudah hilang sabar. Namun, baru juga mencapai pintu, ponsel di dalam tasnya berdering.

Nyaring sekali dan tiba-tiba, Aeni sampai terlonjak.

Dengan Ibu Aeni?

Aeni, yang kini sudah berusia kepala lima, mengernyit di ambang pintu. Jelas-jelas telepon berasal dari nomor Ana, tetapi sejak kapan suara Ana seberat itu? Pendengaran dan ingatannya masih bagus meskipun dia mulai bau tanah.

“Iya. Ini siapa? Dimana Ana? Suruh dia cepat pulang! Katakan bahwa ibunya sangat kerepotan!”

Maaf, Bu, saya menelepon bermaksud untuk mengabari. Ana … ditemukan meninggal, Bu. Sepertinya sudah dari kemarin sore.”

Entah Aeni salah dengar atau dia kena tipu, atau dia tengah dipermainkan, atau ini cuma akal-akalan si Ana sialan, ada banyak kemungkinan dan Aeni berusaha tidak percaya bahwa yang didengarnya adalah fakta. Sang suami bertanya kenapa dia diam saja di pintu padahal mobil rombongan sudah datang, tapi Aeni tidak menjawab dan malah mengeluarkan sumpah serapah—bukan pada sang suami, pada si penelepon. Dia mengancam akan segera melaporkannya pada polisi karena sudah mempermainkan, lalu sekali lagi menyuruh anaknya segera pulang.

Namun, penelepon itu sama sekali tidak berbohong. Sama sekali. Si penelepon menjelaskan panjang lebar, sungguh-sungguh, lalu Aeni diam. Bukan diam menjadi tenang, bukan. Tapi diam seperti nyawanya turut melayang.

“Ana ditemukan gantung diri di kamar kostnya.”

Haruskah Aeni membatalkan pernikahan anak lelakinya demi menghabiskan waktu untuk berduka detik itu juga?

Dia tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika pernikahan dan pemakaman dilakukan di hari yang sama?


***


First being published: November 6th, 2022 (Wattpad)


Nara's Note:

Ini terlintas di pikiran saya sudah lama, sekitar akhir tahun 2021. Saat itu kakak saya baru beberapa hari menikah, sedangkan saya kembali lagi ke perantauan dengan isi kepala yang masih acak-acakan, sampai terpikir: seandainya saya benar-benar bunuh diri di hari pernikahan kakak alih-alih mengambil cuti untuk menghadirinya, akan bagaimana?

Lalu, seluruh adegan di atas murni hasil imajinasi. Tahu tidak? Saya saja kaget karena ternyata nama yang saya gunakan untuk tokoh ibunya Ana sama dengan nama panggilan ibu kos saya saat ini. Padahal saya menulis cerita di atas sudah begitu lama.

Dan, seperti biasa, saya akan sangat mengapresiasi respons teman-teman, baik itu masukan, saran, kritik, maupun ajakan untuk mengobrol lebih dalam perihal apa pun.

Komentar

Postingan Populer