[Cerita Pendek] Tergores Duri yang Sama, Berbagi Asa yang Selesa [Cerita Pendek]

 

Tergores Duri yang Sama, Berbagi Asa yang Selesa

Oleh: Hanaranur


***

 

Diselimuti kegelapan, Raina memeluk dirinya sendiri di pojok kamar kontrakan. Isak tangis terdengar jelas mengudara di atmosfer ruangan seluas 4x4 meter tersebut. 2 jam sudah berlalu semenjak dia pulang bekerja, tetapi perpaduan antara rasa malu dan getir loyal membekas dalam relungnya.
 
“Punya otak tidak, sih? Mengerjakan hal kecil seperti ini saja tidak becus, padahal sudah diajarkan berkali-kali. Dasar tolol!” Makian tersebut diudarakan dengan lantang, tanpa peduli bahwa benteng mental seseorang tengah mengalami keretakan. Raina hanya mampu menunduk dengan kedua tangan mengepal di balik punggung. Menjadi tontonan seluruh karyawan—yang amat tidak bersahabat—bukanlah sesuatu yang dapat dia banggakan. Apalagi tatkala tangan kekar itu mulai membanting beberapa hasil pekerjaannya kesetanan, sembari terus meledakkan cercaan.
 
Sebagai seseorang yang baru dua minggu bekerja, bukankah wajar jika masih ada kesalahan? Terlebih, menjadi karyawan pabrik elektronik bukan yang Raina inginkan. Seandainya kondisi ekonomi keluarganya baik-baik saja, gadis yang baru lulus SMA tersebut sebetulnya ingin meneruskan pendidikan.
 
Sekujur tubuh Raina tiba-tiba gemetar tanpa sebab. Tangisnya kian menjadi, tetapi dia tahan sebisa mungkin untuk tetap menikmati isak tangis itu sendiri. Asumsi-asumsi buruk mulai mengacau dalam kepalanya, mendorongnya tanpa sadar untuk menggigit kuku-kuku jemari.
 
Raina harap esok hari tak akan pernah datang. Dia tak lagi sudi untuk pergi bekerja lagi.
 
Ya, begitu niatnya. Sebelum dipatahkan oleh sekelumit kalimat dari sang ibu yang menelepon di detik tak terduga; Raina bahkan belum bisa menyudahi merekahnya pikiran-pikiran buruk semalam ketika dia baru bangun dari 3 jam tidurnya. “Ibu boleh minta uang tidak, Neng, setiap kamu gajian? Buat bayar biaya sekolah adikmu. Usaha bapak dapatnya tidak seberapa, belum lagi kalau lagi sepi pembeli. Cuma kamu satu-satunya harapan yang ibu punya,” begitu yang didengarnya, seakan-akan untaian frasa tersebut adalah sebilah pedang yang bisa membunuhnya kapan saja jika tidak segera menggerakkan diri untuk mencari pundi-pundi. Hingga dengan berat hati, pada akhirnya Raina kembali dengan rutinitasnya di dalam pabrik.
 
Raina adalah tipikal gadis yang periang, tidak butuh lama untuk berbaur dengan lingkungan. Namun, begitu kontras perbedaannya sekarang. Rasa takut akan membuat lagi kesalahan mengubahnya menjadi sosok yang lebih banyak bungkam. Sekalinya ada yang mengajaknya berinteraksi, jemarinya kerap gemetar bersamaan dengan wajah yang perlahan pucat pasi. Membuatnya belum memiliki satu pun teman bahkan begitu menginjak bulan ketiganya bekerja. Hingga sekali pun menangis tersedu setelah kembali menerima kata-kata tajam, tidak ada satu pun orang yang mau menenangkan. Mereka hanya memperhatikan, lalu beralih pada tugasnya masing-masing. Berlomba-lomba agar tidak menjadi sasaran amarah atasan selanjutnya.
 
“Sejak dia masuk, bos jadi lebih sering marah-marah, ya? Pekerjaan kita jadi terganggu.” Salah seorang karyawan wanita di usia kepala dua berbisik pada teman yang berdiri sekitar 1 meter di sampingnya.
 
“Betul,” timpal temannya. “Tadinya mau kuajak bicara baik-baik, tapi sikapnya yang aneh membuatku takut. Dia tiba-tiba gelagapan dengan tubuh gemetar begitu aku dekati. Dia pikir aku akan menyakitinya, apa?”
 
Si pengawal obrolan mengendikkan bahu. “Mungkin dia trauma karena belum lama bekerja tapi sudah dapat makian. Makanya dia pikir semua orang yang mendekatinya akan turut memarahinya.”
 
“Iya, ya. Bisa saja.”
 
Selagi menyeka tangis serampangan, Raina menggigit bibir. Bisa-bisanya mereka menciptakan konversasi semacam itu padahal yang tengah dibicarakan berdiri tak jauh dari mereka? Setelah menerima tatapan-tatapan asing dan intimidasi, dia merasa begitu sakit atas sebuah pembicaraan.
 
Relungnya semakin tergores setiap hari, tetapi dia merasa tak punya opsi lain mengingat ekspektasi keluarganya kerap menghantui.
 
Selain dari isi kepala yang tak lagi tertata, rasa sakit akan sesak napas yang mendadak datang, pening yang terasa menusuk sampai tulang, atau ritme detak jantung yang berubah tak normal pun sudah tak lagi dia pedulikan. Pertanyaan bernada, “Aku ini sebenarnya kenapa?” terus menjejali pikirannya. Seiring dengan semakin kurusnya sekujur badan, Raina merasa hidupnya kian abu-abu dari hari ke hari. Bahkan menyerah bak menjadi solusi terakhir dalam sudut pandangnya.
 
“Awas!”
 
Seseorang menggenggam pergelangan tangannya, sontak membuat Raina batal menaiki tralis jembatan. Orang tersebut menariknya menjauh. Dalam kondisi pikiran yang tengah di ambang sadar tidak sadar, perlu waktu baginya untuk mengumpulkan kewarasan dan meneliti sosok berhelm di depannya.
 
“Apa yang mau kamu lakukan? Di bawah sana banyak kendaraan!”
 
Begitu cukup sadar, gadis tersebut konstan mundur beberapa langkah selagi netranya menatap sangsi sosok pria di hadapan. Dadanya mulai berdegup, gemetar perlahan menjalar. Selain karena tidak kenal, pria yang tampak dua-tiga tahun lebih tua darinya itu mengenakan seragam pabrik yang sama. Entah kenapa hal itu mampu memicu perubahan sikapnya.
 
Sadar akan sesuatu, pria tersebut lantas menunjukkan kartu identitasnya. “Saya bekerja di pabrik yang sama, kamu tidak perlu takut. Kebetulan saya melihatmu melamun di jembatan padahal sudah jam 9 malam. Kenapa kamu belum pulang? Kamu bisa langsung mati di tempat jika benar-benar melompat!”
 
Kenapa dia tidak langsung pulang, melainkan malah berniat mencabut nyawa sendiri dengan melompat dari jembatan penyeberangan? Raina justru tengah mempertanyakan hal yang sama.
 
“M-Maaf …,” katanya lirih. Rasa mual yang bergejolak di dalam perut membuatnya refleks berjongkok selagi menutup mulut. Raina juga hanya pasrah begitu tangisnya perlahan luruh.
 
Pria itu lantas mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam tasnya sebelum ikut menyejajarkan diri. “Sebaiknya kamu minum dulu. Ini air minum baru, jadi kamu tidak perlu khawatir. Saya juga tidak bermaksud menyakitimu.”
 
Raina baru pertama kali diajak bicara seperti ini setelah saban bulan lalu, jadi dia cukup ragu. Perlu sejemang waktu baginya hingga dia mau meneguk pemberian pria tersebut.
 
“Walau ditempatkan di bagian berbeda, sesekali saya melihatmu. Sudah sedari lama saya ingin mengajakmu mengobrol, tapi selalu tidak sempat.” Suaranya seolah mendominasi auditori, padahal deru kendaraan tak ayal mengudara. Raina loyal menunduk. Dia belum selesai dengan rasa mualnya. “Malah baru bisa menyapamu dalam situasi seperti ini tanpa basa-basi. Maaf.”
 
Raina mendadak ingin menjawab banyak. “Aku orang yang aneh dan bermasalah. Hidupku juga … kacau.” Suaranya masih bergetar. “I-Itu yang orang-orang katakan. Tidak perlu berusaha berteman denganku.”
 
“Itu tidak benar,” tukas si pria. “Saya memang tidak tahu bagaimana persisnya apa yang tengah kamu lalui, tapi setidaknya saya paham bahwa itu semua menyakiti mental maupun fisikmu. Kamu tidak aneh. Orang yang berkata kamu aneh hanyalah orang yang tidak mampu memahamimu dengan baik.”
 
Kenapa dia tiba-tiba berbicara seolah-olah pernah ikut mengalaminya? Apakah dia juga sedang merasa takut akan merusak ekspektasi keluarganya jika dia berhenti bekerja, tapi sudah tidak tahan dengan rutinitas kerja itu sendiri? Apakah dia juga sama-sama diasingkan oleh sekelilingnya? Raina mengernyit. Dirasa sudah membaik, dia lantas berdiri seraya menyeka pipi dari jejak tangis. “Terima kasih. S-Saya permisi.”
 
“Motor saya diparkir di bawah. Saya antar, ya.”
 
“Tidak perlu.”
 
“Saya tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian dengan kondisi seperti itu.”
 
Pria itu tampak tulus; niat jahat tidak terdeteksi sama sekali jika dilihat dari raut wajahnya. Namun, Raina kembali menolak. Jarak kontrakan yang bisa ditempuh selama 10 menit dengan kendaraan umum menjadi dalihnya. Kendati tetap saja alasan sebenarnya adalah karena gadis tersebut masih belum bisa menaruh percaya seutuhnya.
 
Menyadari hal tersebut, pria itu tersenyum—tipe senyum yang terukir karena berusaha mengerti kondisi lawan bicara. Dia mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.
 
“Saya harap kamu tidak menolak ini,” pintanya sembari mengulurkan sebuah amplop cokelat.
 
Raina menerimanya dengan ragu. “Ini … Apa?”
 
“Bukan apa-apa sebetulnya. Tolong buka setelah kamu sampai di rumah, ya.”
 
“T-Terima kasih.”
 
“Dan, tunggu!” Baru saja Raina berniat berbalik badan untuk menuruni tangga jembatan, dia mendadak stagnan tatkala sebuah ponsel terulur ke arahnya. “Boleh saya minta nomormu? Um, anu, kalau tidak mau pun tidak masalah. Saya hanya ingin tahu saat kamu benar-benar sudah pulang. Kejadian tadi membuat saya khawatir.”
 
Jemari si gadis tampak bergetar kecil begitu mengetik nomornya pelan. Kekalutan dalam dirinya belum usai, tetapi dia mencoba untuk sedikit lebih terbuka. Toh, hanya sekadar nomor ponsel.
 
Lantas, dia pun benar-benar pamit seusai menerima terima kasih dan seulas senyum puas dari seorang pria yang tidak diketahui namanya. Hingga tepat saat Raina sampai di depan pintu, satu pesan dari nomor tidak bernama muncul di notifikasi ponselnya.
 
“Halo, ini saya, Hamid. Tolong kabari saya jika kamu sudah membukanya, ya, dengan begitu saya tahu bahwa kamu sudah sampai dengan baik-baik saja. Hari ini saya memang berniat menemuimu untuk memberikan itu, jadi saya menanyakan alamatmu pada salah satu teman yang kebetulan bekerja di bagian yang sama denganmu. Hanya saja kita justru bertemu di saat tak terduga, ya. Saya harap isi amplop itu bisa membantumu juga, sebagaimana sejak dua tahun lalu selalu membantu saya.”
 
Alis Raina bertaut. Dia bahkan belum membukanya. Lalu datang lagi pesan yang lain.
 
“Dulu, saya memiliki masalah mental, dan kondisimu belakangan ini—yang saya lihat—benar-benar mirip dengan gejala yang pernah saya alami. Mungkin saat ini, saya sudah jauh lebih baik. Tapi saya tidak mau orang lain merasakan hal yang serupa. Jadi sebelum kondisimu memburuk, saya harap dengan memberitahu tempat saya berkonsultasi bisa menjadi salah satu solusi.”
 
Refleks, Raina segera menyobek amplop cokelat tersebut, dan tangis haru langsung berjatuhan setelah mengetahui isinya: secarik kartu nama seorang psikiater serta informasi mengenai kliniknya. Beragam emosi yang selama ini dia pendam pun turut membuncah keluar.
 
Notifikasi ponselnya kembali berdering.
 

“Jangan sampai berpikir untuk bunuh diri lagi, ya. Apa pun yang kamu hadapi, kamu tidak sendiri dan layak dicintai.”


***


Nara's Note:

Cerpen ini kutulis untuk mengikuti salah satu lomba bertema kesehatan mental, beberapa bulan lalu. Awalnya aku cukup optimis, meskipun seleksinya ketat sekali mengingat naskah yang didaftarkan menyentuh lima ratusan sedangkan hanya akan dipilih 10 naskah terbaik dari itu (dengan ketentuan jumlah kata yang terbatas). Dan, ya, tulisanku ini tidak termasuk ke dalamnya, sayang sekali. Meski aku sadar diri, sih, memang naskahku ini perasaannya kurang kontras, temanya kurang kental dan eksekusinya masih gamang. Jadi kupublikasikan di blog pribadi (yang sebenarnya sepi) saja, sekadar sebagai apresiasi terhadap optimismeku saat menulisnya. Maka aku akan sangat berterima kasih jika kalian yang membaca ini bersedia memberiku masukan atau saran, atau sekadar bertegur sapa pun aku tidak masalah. Semoga kalian menikmati! Have a good day!


Ps. Cerita ini sama sekali tidak berhubungan denganku. Kebetulan aku pernah mendengar pengalaman seorang teman yang bekerja di pabrik tekstil dengan lingkungan buruk, sampai mentalnya sempat terganggu, jadi bisa dibilang, aku terinspirasi dari sana.

Komentar

Postingan Populer