Seumpama Warna yang Memudar

Seumpama Warna yang Memudar

By: Hanaranur 


***


Puan, kini saya pastel. Puan masih menyala-nyala.

Saban hari Puan dibuat penasaran sebab saya lebih tenggelam ke dalam bungkam. Tawa saya tidak lagi bergelegak; kuriositas Puan saya tanggapi dengan kekeh tipis, itu pun cuma sepersekon. Layaknya kepulan asap dari teh hangat; cepat raib, sebab terlalu lama dibiarkan begitu saja.

Dulu, saya adalah manifestasi dari oranye dan hijau terang, juga biru serupa nabastala. Kurva di wajah mudah merekah. Pun merajut konversasi dengan presensi-presensi lain bukanlah suatu hal sulit bagi saya. Cahaya mereka tak ayal membuat silau, tetapi saya yakin dengan eksistensi milik saya sendiri: saya benderang, juga.

Sayang, keyakinan itu sekarat saban bulan yang lalu.

Sampai akhirnya seuntai pertanyaan berlabuh di telinga saya, “Mengapa kamu menjadi pemurung?”

Saya setengah tidak percaya—atau enggan percaya, lebih tepatnya. “Begitu, ya? Saya memang seperti ini sedari dulu.”

“Tidak. Dulu kamu aktif dan bercahaya sekali.”

Jika sudah dilempari kalimat semacam itu, saya harus bagaimana, Puan? Mengingkarinya pun bakal jadi suatu kesalahan sebab memang begitu pula yang dulu saya rasakan. Sebelum waktu demi waktu menyelam dalam duka dan penderitaan membuat kroma-kroma saya luntur perlahan-lahan.

Tidak ada lagi biru yang senantiasa menaungi kepala saya, ataupun hijau yang tak pernah berkeluh-kesah sekali pun harus menemani saya sepanjang jalan. Saya harus berduka saban harinya, menangisi tiap-tiap warna yang pamit pergi setelah sebelumnya menyaksikan mereka sekarat dengan begitu pedihnya. Hanya tersisa ampas-ampas saja; ampas kepedihan. Hingga derai air mata yang tak pernah berhasil saya tahan berujung meredupkan kontras-kontras presensi saya.

Sampai saat ini saya kian pastel, nyaris abu dan berkemungkinan pudar dalam waktu dekat. Apakah Puan—yang masih punya terang kendati remang-remang—masih heran mengenai kenapa saya kian bungkam?



***


created on October 22, 2021

Komentar

Postingan Populer