Segelintir Mimpi yang Terkapar Mati [Sebuah Cerpen]
Segelintir Mimpi yang Terkapar Mati
By: Hanaranur
***
Ada beberapa hal yang ingin kulakukan. Entah kapan, mungkin di masa depan yang sama sekali tidak dapat kuperkirakan, yang jelas terlalu minim kemungkinannya jika kulakukan saat ini. Terkecuali jika Tuhan memberikan semacam keajaiban. Namun, sekalipun begitu, kurasa aku tetap tidak akan bisa mendapatkannya di masa ini sebab dosa-dosaku lebih tinggi ketimbang pengabdianku pada-Nya. Jadi, barangkali aku bisa sedikit berharap untuk merealisasikan keinginanku di masa mendatang, sembari memperbaiki diriku sendiri.
Itu rencanaku setengah tahun lalu, sebelum akhirnya aku terjerat oleh beraneka problema kehidupan yang bertamu ke dalam pikiranku setiap detiknya.
Sampai fase di mana membelah jalan di sore hari jadi terasa benar-benar hambar. Lembayung senja yang terlukis di kaki langit bahkan tidak lagi terasa magis buatku, tidak sampai memicu kurva untuk mengembang di wajahku seperti saban waktu yang lalu. Tidak, tidak. Bukannya aku tidak bersyukur. Menemukan pemandangan seindah itu sehabis pulang mencari pundi-pundi adalah nikmat tiada tanding, kuakui. Hanya saja, terlalu sering melihat caruk-maruk dan mengeluarkan air mata sukses membuat netraku kehilangan kekuatannya. Membuat apapun yang ditangkapnya tampak serupa saja.
Lantas, menghela napas pasrah, aku memutuskan singgah terlebih dahulu di kedai bakso yang biasa kudatangi setelah sejemang waktu lalu menapaki trotoar sejauh ratusan meter. Arloji yang melingkari tanganku memang sudah menunjuk pukul 6 petang, tetapi perut dan kakiku sudah tidak bisa diajak kompromi. Setidaknya aku harus mempertahankan tenagaku, jangan sampai dia berakhir mengenaskan seperti penghuni kepalaku saat ini. Toh kupikir, makan beberapa suapan sembari menunggu adzan juga tidak ada salahnya, bukan?
Lagi pula suasana kamar kost yang sepi tidak menghiburku sama sekali.
“Loh, Imara? Kok tumben baru pulang?”
Aku berusaha menyematkan senyum senatural mungkin begitu Lea mengantarkan makanan yang kupesan sebelumnya. Dia adalah putri pemilik kedai bakso ini, dan tidak membuatku kaget sama sekali kenapa dia masih berkutat disini alih-alih pergi keluar sebagaimana remaja seusia kami pada umumnya, sebab dia memang terbilang sering membantu bapaknya berjualan. Membuatku merasa bangga mempunyai teman tak kenal gengsi sepertinya.
Sekaligus iri.
“Pekerjaanku sedang banyak, dan aku pulang jalan kaki lagi,” kataku, sementara Lea menanggapi dengan “oh” panjang sembari mengangguk-angguk.
Dia duduk di hadapanku. “Akhir-akhir ini kamu sering pulang jalan kaki, ya. Ongkos gojek naikkah?”
Kusempatkan terkekeh kecil di sela menyuap bakso demi menghargai candaannya. “Tidak juga. Tapi jika kupakai untuk naik gojek, nanti aku tidak bisa makan bakso.”
“Haha, kamu ini. Seolah gaji bulananmu hanya beberapa perak saja.”
“Aku menyebutnya berhemat, Le.”
“Aku menganggapnya terlalu menahan diri.”
Gelegak tawa lantas melebur, sejenak memberi kesan ramai di kedai yang nyaris tidak berpenghuni ini. Jika seandainya aku tidak datang, mungkin mereka akan segera tutup. Lea bilang, yang sedang kumakan sekarang adalah porsi terakhir, sebab pengunjung cukup ramai hari ini. Aku turut bahagia mendengarnya. Karena itu berarti, kali ini mereka tidak perlu mengalami kerugian karena sepi pengunjung seperti saban hari yang lalu.
Cukup lucu menurutku. Ternyata kesedihanku di detik ini bersanding dengan kebahagiaan orang lain, dan kebahagiaanku beberapa waktu lalu bersanding dengan perih orang lain. Aku sempat meminta Tuhan untuk mempercepat masa ini karena tidak ingin diselimuti sedih berkepanjangan, tetapi sekarang aku urung. Bagaimana mungkin aku merenggut suka cita orang demi egoku sendiri?
“Oh, iya, bagaimana dengan rencana kuliahmu, Ra? Sebentar lagi pendaftarannya dibuka, loh.” Lea kembali buka suara, membuatku kembali pada realita. “Jadi ambil fakultas Ilmu Pendidikan?”
Mendengar pertanyaan Lea entah mengapa sukses membuat bakso yang tengah kusantap menjadi kehilangan kenikmatannya. Aku sejenak bungkam. Memikirkan jawaban yang sekiranya tidak akan menambah rasa sakitku jika dilontarkan. Dengan nada ragu, pada akhirnya aku berusaha menanggapi. “Sepertinya ... Aku tidak jadi mendaftar kuliah, Le,” ungkapku susah payah. Tetapi usahaku sia-sia saja, rasa sakit itu masih bisa menembus sampai ke ulu hati.
“Lucu sekali kamu. Padahal kemarin-kemarin semangat sekali waktu cerita padaku ingin bisa masuk universitas ternama.” Lea malah tertawa. “Tidak perlu menipuku begitu, nanti kalau benar-benar tidak bisa kuliah bagaimana, loh?”
“Aku memang tidak akan kuliah.”
Baru setelah kukatakan itu, Lea terperanjat dengan kening berkerut mutlak. “Imara, kamu serius?”
Aku menatapnya sembari mengangguk lemah.
“Bukannya kita sudah janji untuk bisa ke Jepang bersama-sama, Ra? Kamu melanjutkan pascasarjana dan aku mengejar mimpiku sebagai mangaka(1).”
“Maafkan aku ....”
“Imara ... Apa yang membuatmu berubah pikiran?”
Banyak. Terlampau banyak. Keadaan orangtuaku di kampung, tunggakan yang harus kuselesaikan, restu yang tidak kudapatkan, banyak. Sampai kepalaku hampir meledak, sampai relungku sesak. Aku ingin mengatakan itu pada Lea, tapi pada faktanya aku malah mengulum bibir. Dengan sekuat tenaga kutahan air mata yang terus meronta di balik kelopak mata. Mereka tidak boleh jatuh saat ini. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan orang lain, apalagi di hadapan temanku sendiri. Akhirnya kubiarkan pertanyaan itu berakhir tanpa jawaban dengan membanting topik obrolan.
“Kamu sendiri, bagaimana?” Aku berusaha menampilkan raut muka secerah mungkin. “Semakin rajin membantu bapakmu berarti semakin bertambah juga dong, tabunganmu?”
“Ya ... Begitulah. Tapi tidak setiap waktu begitu juga. Malah terkadang, aku harus merelakan beberapa lembar untuk keperluan rumah kalau sedang sepi pengunjung.”
“Pasti tidak rela, ya. Uang yang susah payah kautabung harus berkurang lagi.”
“Makanya terkadang aku iri juga padamu, Ra,” ungkapnya dengan oktaf bernada sendu. Lea memang menyematkan tawa kecil, tapi terdengar begitu pahit. Membuatku membatu untuk sejumput waktu. “Kamu sudah punya pekerjaan tetap, mendapatkan pemasukan setiap bulan dengan nominal yang sudah pasti. Sementara aku selalu merasa cemas setiap kali menyambut hari, bertanya-tanya apakah aku bisa menambah uang tabungan atau tidak. Kamu tahu sendiri, 'kan, bulan lalu kedai bakso bapakku ini hampir saja tutup permanen. Tapi aku bertahan, karena aku memiliki mimpi untuk dicapai. Dan orangtuaku juga sama.”
Aku belum bisa menanggapi apa-apa. Jadi dia menambahkan, “Lagi pula aku merasa tidak akan bisa bersyukur jika terus merasa iri pada kehidupan seseorang yang jelas-jelas tidak kuketahui aslinya bagaimana. Aku iri padamu karena aku hanya bisa melihat hal-hal menyenangkan dari hidupmu saja, padahal mungkin, beban yang kamu tanggung lebih menyakitkan dari punyaku. Itu sebabnya kamu sampai ingin membatalkan impianmu ’kan, Imara?”
Spontan kuteguk ludah dengan getir. Aku tidak bisa melontarkan barang sepatah katapun dan hanya tersenyum miris. Sampai akhirnya dia berkata, “Aku ingin mewujudkan mimpiku, untuk itu aku bekerja keras. Bukannya kamu juga begitu?”
“Tidak lagi.”
“Kenapa?”
“Karena mimpiku sudah lama mati.”
Lea tampak menyayangkan perkataanku barusan. “Sejak kapan?”
Sejak aku mendengar keluh-kesah orangtuaku. Betapa lelahnya mereka, betapa sedikitnya uang yang mereka dapat, betapa sulitnya bertahan hidup dalam bayang-bayang utang. Bahkan hela napas sarat akan kefrustrasian masih jelas terngiang di kokleaku begitu kuutarakan aku memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Mereka takut tidak bisa membiayai, sebab menyambung hari saja sudah teramat berat. Kubantu dengan uang hasil kerjaku saja tidak cukup untuk menutupi semuanya. Antara diriku sendiri atau mimpi-mimpiku, jelas aku memilih opsi kedua untuk dibuat mati. Sebab aku masih harus berjuang untuk mendapatkan pundi-pundi.
Lea bungkam begitu kuuraikan semuanya dengan terengah-engah. Rasanya berat sekali. Segala hal yang selama ini kupendam harus kukeluarkan dengan paksa, dan rasanya lebih menyakitkan. Aku bahkan pasrah ketika bulir air mata terus berjatuhan. Dan membiarkan bakso yang masih tersisa setengah porsi di depanku ini kehilangan suhu panasnya.
“Apa kamu dipaksa?” tanya Lea.
“Tidak, tidak,” aku menggelengkan kepala, “mereka tidak pernah sekalipun memaksaku bekerja. Mereka bilang mereka baik-baik saja tanpa bantuanku, mereka begitu memperhatikan kondisiku, tapi keadaannya selalu mengatakan sebaliknya. Dan kepura-puraan itu terus menghantui kepalaku.”
“Kalau begitu kenapa tidak katakan saja perasaanmu sesungguhnya pada orangtuamu, Imara? Kalaupun memang tidak bisa melakukan itu, setidaknya berhentilah melakukan apa yang tidak kamu inginkan.”
“Tidak bisa.”
“Lantas kamu mau bagaimana sekarang?”
“Aku sendiri tidak tahu. Mana mungkin aku tega membiarkan orangtuaku kewalahan hanya demi mewujudkan apa yang ingin kulakukan? Memberi tahu rasa sakitku pada merekapun bukan sebuah solusi. Aku selalu berpikir begitu. Tapi aku juga tidak mau terus melakukan apa yang bukan keinginanku. Aku bingung aku harus bagaimana. Rasanya tersiksa sekali.”
Tidak ada kata-kata lagi yang kudengar dari mulut Lea. Begitu kulihat, ternyata dia sama-sama meneteskan air mata. Buru-buru kuseka milikku sendiri dan berusaha mencairkan suasana. Aku tidak boleh membuat orang lain turut merasakan sakitnya.
Aku menyemangatinya. Kubilang, dia harus terus bekerja keras selagi memiliki kesempatan untuk menggapai apa yang dia mau. Terlebih tidak ada paksaan atau kebingungan dalam menjalani itu. Orangtuanya pun tidak menentang. Dia tidak boleh membuat mimpinya sekarat, apalagi mati.
Seperti milikku.
Sebab saat mimpimu mati, sebagian jiwamu akan kehilangan warnanya.
Aku pun sudah lama memudar.
“Ah, maaf. Seharusnya kita tidak membahas ini,” kataku selagi melanjutkan suapan. Lidahku sudah mati rasa, tetapi sayang kalau tidak dihabiskan. “Kamu jangan menangis begitu. Aku tidak mau ya, kalau sampai disalahkan oleh orangtuamu.”
Dia mendecih selagi menyeka wajahnya dengan ujung lengan baju. “Sebentar lagi aku akan tutup. Pulanglah dan mandi, lalu istirahat. Besok kamu harus kesini lagi. Aku harus mengomelimu.”
“Baiklah, baiklah.”
“Jangan terlalu banyak pikiran ya, Ra.”
“Kuusahakan.”
Aku lantas pergi tepat begitu adzan berkumandang, sementara Lea bergegas menuju rumahnya setelah menutup kedai, menyusul sang ayah yang sudah pulang duluan.
Sensasi berat di kedua pundakku cukup berkurang. Sekali lagi, aku bersyukur berteman dengannya. Kendati tidak menyelesaikan rasa perihku seutuhnya, setidaknya dengan mengobrol membuatku sadar bahwa aku tidak sendirian. Mungkin akan sulit untuk menghidupkan mimpi-mimpi yang sudah kubunuh. Memunculkan mimpi lain juga terasa sama beratnya. Namun, aku harus memastikan mimpi orang lain tetap hidup.
Aku harus memastikan keinginan orangtuaku untuk hidup tanpa bayangan tunggakan dapat terwujud. Sekalipun itu artinya, aku harus merelakan kewarasanku terus berkurang, sekaligus merelakan beberapa hal yang ingin kulakukan.
Mungkin sampai titik di mana aku ditemukan terkapar di sebelah mimpi-mimpiku.
***
created on july 10-11, 2021
Note:
(1) Mangaka: Mangaka (漫画家) adalah istilah bahasa Jepang untuk orang yang menggambar manga. Mangaka memiliki padanan makna dengan komikus. Di luar Jepang manga biasanya merujuk pada buku komik Jepang dan mangaka mengacu pada pengarang manga yang biasanya adalah orang Jepang. Pada 2006, sekitar 3000 mangaka profesional ada di Jepang. (Dikutip dari: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mangaka).
(2) Sumber gambar: Pixabay.
Kritik dan saran akan sangat saya apresiasi, so drop your thoughts through comment, please! ^^


Komentar
Posting Komentar