Manipulasi Luka [Cerpen]
Manipulasi Luka
Oleh: Hanaranur
***
Asap transparan tampak mengepul dari belah bibir begitu Lea mengembuskan napas perlahan. Hujan belum juga reda sedari satu jam yang lalu. Gemericik yang memenuhi pendengaran berbanding kontras dengan suasana lengang halte tempatnya berteduh. Ia bergidik sembari merapatkan jaket biru gelapnya mengingat hawa dingin terasa menusuk tulang.
Sudah satu bulan lebih semenjak wabah Covid-19 dinyatakan sepenuhnya berhenti. Hiruk pikuk di berbagai daerah pun kini kembali bangkit setelah berbulan-bulan mati suri; setelah mengorbankan tenaga, waktu, bahkan nyawa. Kegiatan belajar-mengajar pun terhitung sudah satu minggu berjalan normal. Pun yang lebih penting dari itu, setidaknya Lea bersyukur sebab kedua orang tuanya yang mana bekerja sebagai dokter dan perawat tidak lagi kepayahan dalam menangani pasien; keluarganya bisa memiliki waktu berkumpul seperti sebelum virus merajalela.
“Nak!”
Terkesiap mutlak, lamunan si gadis bersurai gelap sebahu tersebut konstan pecah begitu suara barusan menjamah telinga. Senyum sumringah lalu mengembang begitu ia menemukan sang Ayah menghampiri bersama payung ungu tua kesayangan. Ayah sedikit terengah-engah, tetapi rasa lega tampak terpatri pada raut mukanya.
“Alhamdulillah ... kamu gak kehujanan. Ayah khawatir, soalnya kamu 'kan gampang sakit.” Vokal ayahnya sedikit serak tatkala mengelus rambut Lea. “Kamu suka kebiasaan gak bawa payung atau jas hujan mentang-mentang cuacanya gak nentu. Lain kali bawa, ya? Kakak kamu juga kemana-mana suka bawa, loh.”
Detik itu Lea cuma menampilkan cengiran dan mengangguk sebelum akhirnya menerobos hujan dalam satu payung yang sama. Ia tahu bahwa kakaknya, Imara, memang lebih disiplin dalam berbagai aspek. Tapi bukannya tak mau meniru, ia merasa dijemput pulang oleh ayahnya saat hujan sudah menjadi kebiasaan (tepatnya sebelum virus mematikan itu menghentikan segalanya dalam kurun waktu yang cukup lama). Semacam momen sakral, bisa dibilang. Gadis itu tentu tak mau menghapus hal tersebut dari skenario hidupnya. Kendati, ya, ia sudah menginjak kelas tiga sekolah menengah atas; kurang cocok jika terus bergantung pada ayahnya.
Selama menjejaki trotoar sampai akhirnya berbelok di gang menuju rumah, Lea loyal merangkul lengan sang Ayah seakan-akan lelaki berharga baginya itu bisa lenyap dalam sekejap. Kendati akhir-akhir ini, beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengannya tak jarang melayangkan tatapan abstrak; semacam ekspresi kaget dibubuhi sedikit ketakutan. Mungkin mereka cukup terkejut melihat seorang siswi SMA masih kelewat manja, begitu asumsi Lea. Namun ia abai saja sampai tahu-tahu mereka sudah di halaman rumah.
“Jangan lupa langsung mandi, ya. Habis itu bantuin ibu kamu di dapur. Ayah mau ngambil jahe dulu di belakang,” kata ayah sebelum kemudian hilang dari pandangan, sedangkan Lea mengiyakan patuh.
Ah, benar, ayah suka banget minum teh yang jahenya diambil sendiri di kebun belakang rumah, Lea membatin seraya masuk ke dalam. Ia sendiri mengerti bahwa rutinitas tersebut sempat terjeda selama ayah dan ibunya disibukkan menjadi garda terdepan. Tungkainya lalu melangkah menuju kamar, tetapi aroma lezat yang berpadu dengan suara dentingan dari dapur sukses membuatnya membanting arah.
“Ah, Lea Sayang! Gimana sekolahnya?” Ibunya bertanya antusias begitu Lea muncul di ambang pintu dapur. Ia tampak sibuk menata masakan di atas meja makan. “Tumben pulangnya sore banget. Tadi ada kegiatan tambahan?”
Si Bungsu itu bergegas membantu. “Enggak kok, Bu. 'Kan hujan.”
“Astaghfirullah, iya ya! Ibu gak inget,” pekiknya sembari refleks menepuk kening. “Tapi kamu gak kehujanan, 'kan? Pulangnya dijemput sama ayah nggak?”
“Iya, dijemput. Aku cuma kena basah dikit, kok.”
“Alhamdulillah kalo gitu ....” Wanita senja berjilbab itu mengembuskan napas lega selagi menarik kursi. Seulas senyum merekah hangat kendati gurat lelah tak ayal bernaung di raut mukanya. “Yuk, sekarang makan. Ayah pasti lagi ngambil jahe kan, ya. Bentar lagi kakak kamu juga pulang. Atau Lea mau mandi dulu?”
Hening menyambangi seisi dapur dalam sejenak. Yang Lea tahu dari sang Ayah, kalau habis kehujanan walau cuma sedikit baiknya memang harus langsung mandi. Biar gak pusing, katanya. Namun tumis kangkung, ikan goreng, dan nasi yang mengepul di atas meja itu sudah membuat perutnya menjerit minta diisi. Alhasil ia menggeleng dan berkata akan mandi nanti saja.
Ayahnya juga datang beberapa saat kemudian. Ia kelihatan tak sabar untuk menyantap makanan yang terhidang setelah teh jahenya selesai dibuat. Sungguh, menghabiskan waktu bersama keluarga itu memang sesuatu yang magis. Lea bisa merasakan sulur-sulur kehangatan merambati hatinya begitu tawa dan obrolan ringan tercipta. Itu adalah momen penting mengingat ayah dan ibunya jarang memiliki banyak waktu di rumah.
Hanya saja, suasana mendadak diselimuti suram saat ayah melirik jam dinding dengan gusar. “Imara kok belum pulang ya, Bu? Ini udah hampir maghrib. Nanti makanannya juga keburu dingin,” katanya.
Alih-alih menjawab, hanya gelengan serta tatapan cemas yang bisa istrinya layangkan sebab tak ada kabar. Hal tersebut sukses membuat Lea ikut risau. Terlebih, seingat gadis bermata sabit tersebut, ia dan kakaknya jarang membangun konversasi beberapa hari terakhir. Ia bahkan tak jarang menemukan si Kakak menatapnya aneh dengan mata berkaca-kaca; seakan ingin mengutarakan sesuatu tapi tak bisa. Padahal dulu, sekalipun tengah mengarungi masa pandemi, Imara benar-benar cerewet dan gemar mengganggu adiknya.
Lea kemudian bangkit terburu. “Aku mau ngehubungin kakak,” ucapnya begitu ditanya. Akan tetapi, belum juga menyentuh ponsel yang tergeletak di atas sofa di ruang tengah, daun pintu tampak terbuka. Lea sontak berlari kecil pada sosok berkacamatayang dua tahun lebih tua darinya ituselagi memekik senang.
“Kak Mara!” Gadis yang dipanggil namanya tersebut sejenak terkesiap tatkala meletakkan payung di samping nakas sepatu. “Syukurlah Kakak udah pulang. Kita khawatir banget tadi.”
“Kita?” Imara mengernyit. Ia pun dibuat terkejut begitu melihat kondisi adiknya yang basah kuyup.
“Iya. Ayah, ibu, sama aku.” Lea berkata polos. “Yuk makan, Kak. Nanti masakan ibu keburu dingin.”
Bukannya masuk, Lea justru menemukan mata kecokelatan si Kakak berkaca-kaca bersama tangan mengepal. “Lea ... udah cukup ..., ucap Imara dengan suara bergetar. Walaupun sulit, kamu harus belajar nerima semuanya. Kakak mohon ....”
Raut muka si Adik berubah suram. “A-Apa maksud Kakak?”
“Kakak juga marah karena kita bahkan cuma bisa ngeliat pemakaman mereka dari kejauhan. Tapi kakak mohon, jangan kayak gini.” Imara menghela napas sebelum menegaskan, “Inget, ayah sama ibu udah gak ada setelah nyelametin orang-orang sebulan yang lalu!”
Lea membatu. Senyumnya sontak raib seiring dengan sorot mata yang kian meredup. Ia menolak mempercayai ucapan sang Kakak. Tapi begitu mendapati meja makan yang semula berpenghuni kini malah terlihat sunyi, dunianya seakan berhenti berotasi. Rambut lepeknya lantas dibuat tak berbentuk sebab ia remas dengan frustrasi. Jantungnya pun berdegup kencang begitu menyadari alasan di balik tatapan aneh orang-orang selama ini. Sebab di mata mereka, Lea tak lebih dari seorang remaja depresi yang sering menggandeng udara hampa dan berbicara sendiri.
Atmosfer lantas terguncang saat Lea menjerit histeris. Namun Imara spontan merengkuh adiknya erat dan berusaha menenangkan meskipun dirinya sama-sama menangis. “Kita memang terpukul ... tapi kamu harus tau kalau suatu saat nanti keluarga kita pasti kumpul lagi. Jadi buat sekarang ... ikhlasin dulu mereka ya, Sayang? Kakak gak kuat kalo terus ngeliat kamu sakit kayak gini.”
the end.
first being published: Sept 19, 2020.
Note:
Terima kasih banyak sudah mampir kemari. Bila ada masukan atau kritik membangun yg ingin disampaikan, silakan. Atau mungkin ada yg mau mereview maksud ceritanya bagaimana? ^^

Komentar
Posting Komentar