Beri Jeda Untuk Peluhmu [Cerpen]

Beri Jeda Untuk Peluhmu

Oleh: Hanaranur


Bising pada umumnya dikaitkan dengan tempat-tempat umum semacam pasar tradisional, jalan raya, dan sebagainya. Selain menemukan benda yang beragam, kau akan dibuat pening dengan orang-orang yang tak henti berseliweran. Benar, bukan?

Akan tetapi bagi Aksara, kantin di kantornya bukanlah pengecualian.

Riuh terasa memenuhi area pendengaran. Denting peralatan makan membaur dengan konversasi yang tercipta disana. Sebab, masing-masing karyawan sibuk mengobrol dengan temannya selagi menyantap makan siang. Agaknya memang hanya Aksara yang suka menyendiri di tengah keramaian. Piring kotor, cangkir bersisakan ampas kopi serta laptop yang layarnya loyal menyala merupakan peneman setianya di meja itu. Dia sesekali membenarkan letak kacamatanya yang sedikit melorot. Sementara, sebelah tangannya yang lain menjaga ponsel tetap di dekat telinga sedari adanya sambungan telepon beberapa menit lalu.

“Besok ’kan Rabu, Ma. Emangnya adek gak sekolah?”

Adek udah izin buat dua hari ke depan. Soalnya dia keukeuh pengen ikut nginep di kosan kamu. Pengen refreshing dari pelajaran, katanya.”

Aksa mengangguk-ngangguk seolah sang mama di seberang sana dapat melihatnya.

Sebenarnya tak masuk akal tatkala kau menerima panggilan di tempat cukup ramai seperti ini. Meninggikan volume suara saja dirasa tak cukup untuk bisa mendengar respons si penelepon dengan jelas. Namun, gadis yang Januari lalu berusia genap dua puluh tiga tahun itu sama sekali tak mempermasalahkan.

Tapi besok kamu gak lembur, ’kan?”  tanya ibunya, dengan suara digital yang khas. “Mama kemungkinan dateng agak sorean. Takutnya kalo kamu lembur, nanti mama sama adek gak bisa masuk. Masa mama harus—”

“Ma, udah dulu, ya?” potong Aksara sembari menaruh atensi pada laptop. Dia kelihatan mulai panik. “Aksa masih ada kerjaan. Hampir aja lupa. Nanti Aksa telepon lagi.”

Loh? Bukannya kamu lagi istirahat—

Sambungan diputus sepihak. Aksa bahkan tak membiarkan kalimat ibunya terlontar utuh.

Kendati tampak tak beradab, sebenarnya gadis tersebut memiliki alasan tersendiri. Ada beberapa proyek di kantor yang belum rampung. Dia sudah berniat untuk menyelesaikannya sembari makan siang, tetapi telepon ibunya menginterupsi. Alhasil begitu ingat, Aksa mau tak mau menghentikan percakapan lantas mengalihkan atensi penuh pada monitor laptop.

Waktu makan siang yang tersisa dua puluh menit lagi cukup bagi Aksara untuk mengistirahatkan sendi-sendinya, sebenarnya. Akan tetapi, si gadis menamakan hal tersebut sebagai “leha-leha”, dan itu bukan dirinya sama sekali. Padahal, ya, sebagai seorang copywriter yang dituntut untuk menciptakan konten-konten kreatif, refreshing serta ketenangan adalah asupan wajib bagi pikiran maupun tubuhnya. Bukan malah terus bercinta dengan papan ketik dan cahaya monitor selama berjam-jam.

Namun pada faktanya, niat untuk berhenti sempat mengetuk hatinya beberapa kali. Dia muak dengan linu dan nyeri yang tak pernah absen menggerayangi sekujur tubuhnya. Dia ingin pulang ke rumah; menonton televisi sembari tiduran di sofa; hal-hal menyenangkan yang tampak mustahil dia rasakan. Hanya saja, gadis tersebut sudah menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal ayahnya lima tahun lalu; dia harus tetap bertahan meskipun derita sering menyapa.

Satu-satunya yang mampu meringankan penat adalah ketika Aksa menjejaki tempat indekos. Bukan mengenai bangunannya—lagi pula itu hanya sepetak kamar biasa yang dinilai cukup nyaman karena kamar mandinya berada di dalam—tetapi ini lebih tertuju pada sosok pria yang menjadi tetangganya sedari dua minggu ini. Entah kebetulan atau bagaimana, selarut apapun Aksa pulang bekerja, pria tersebut selalu dalam keadaan terjaga; bahkan kerap mengajaknya bicara.

Itulah mengapa malam ini gadis berambut hitam sebahu tersebut tak buru-buru masuk. Dia tampak khusuk menikmati pemandangan kota metropolitan dari pelataran di lantai dua itu. Jarum jam yang berdetik di angka 1 bahkan tak mampu mengusiknya. 

“Hei, Mbak. Mau martabak gratisan, gak?”

Itu orangnya.

Senyum si gadis spontan mengembang begitu si sumber suara menghampirinya bersama sekotak martabak.

“Saya gak mau kalau bukan martabak telur,” sahut Aksa.

Menyadari candaannya direspons, Baskara terkekeh ringan. Dia membuka tutup kotak dan mengisyaratkan Aksa untuk menyantap martabak kesukaannya itu.

“Kamu tuh bagusnya langsung istirahat, Sa,” kata Baskara seraya berdiri di samping Aksa. “Tubuh sama otak kamu udah kerja keras dari pagi sampe mau pagi lagi kayak gini. Masa malah dibawa nongkrong. Nanti masuk angin, loh.”

“Kamu tuh bagusnya ngerjain skripsi, Bas. Masa malah nongkrong pake kaos sama celana training doang. Nanti masuk angin.”

Sejenak mereka menatap satu sama lain, seolah memberi aba-aba sebelum tawa memecah sunyi di detik kemudian. Aksa benar-benar bersyukur dipertemukan dengan Baskara. Berbincang dengan pria tersebut selalu berhasil menguapkan sedikit beban di pundaknya.

***

Empat panggilan tak terjawab.

Aksa hanya melirik tanpa minat pada notifikasi ponselnya, sejenak membenarkan letak kacamata, lantas kembali fokus pada lembar kerja di hadapan. Dia memerlukan konsentrasi penuh demi menyelesaikan pekerjaannya dengan tanpa cela. Namun, ponselnya kembali bergetar. Dan itu sangat mengganggu. Sadar bahwa mengabaikannya saja tak cukup, dia sontak mematikan power ponselnya tanpa sedikitpun memeriksa siapa yang menelepon tersebut.

Belakangan ini, gadis itu merasa kecewa akan kinerjanya sendiri. Dia selalu merasa kurang. Padahal atasannya tak mempermasalahkan. Itulah mengapa hari ini dia memutuskan untuk lembur. Menyelesaikan tugas lebih cepat—kendati deadline masih cukup lama—sudah menjadi kebiasaan tersendiri baginya. Rekan kerjanya juga tak asing dengan hal tersebut.

Hanya saja seiring malam merangkak naik, desiran aneh tiba-tiba hadir dalam hatinya.

Aksa menyadari bahwa ada yang janggal dengan hari ini. Bahkan sedari pagi. Dia masih ingat tatkala seorang bapak penjual martabak di depan tempat indekosnya tiba-tiba memberikan uang sepuluh ribu begitu dia akan pergi. “Tadi malem neng lupa sama kembaliannya,” katanya. Padahal, dia belum pernah membeli martabak sama sekali. Justru Baskara yang sering menawarinya.

Bahkan sampai si gadis tiba di depan pintu kamar, detak jantungnya loyal abnormal. Sekujur tubuhnya mendadak gemetar. Padahal, jarum jam berada tepat di angka sebelas malam. Namun alih-alih segera membuka kunci, Aksa malah bergeming. Hingga sebuah vokal dari arah kamar sebelah menarik atensinya.

“Sa?”

Aksa menoleh lemas; menemukan Baskara mengikis jarak. “Bas, saya—”

“Tadi mama sama adek kamu ke sini, Sa,” potong Baskara. Suara serta raut wajahnya yang berubah dingin sukses membuat Aksa mengernyit. “Mereka nungguin, tapi kamu gak pulang-pulang. Kenapa kamu harus segila itu sama kerja, sih, Sa? Kamu gak usah ngambil lembur sesering itu. Kamu manusia, bukan robot. Istirahat sama family time itu perlu. Jangan nyusahin diri sendiri.”

Tegang terasa mendominansi di detik itu. Baskara terdengar marah, sedangkan Aksara tampak tak terima.

“Maaf? Maksud kamu gimana?” tanya Aksa, berusaha tak tersulut.

“Coba buka handphone kamu,” titah pria tersebut. “Jangan sampe kamu nyesel, Aksara.”

Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Aksara luapkan. Rasa kesalnya sudah terpantik, bahkan siap meledak. Namun faktanya, dia menuruti perintah yang lawan bicaranya lontarkan. Dan betapa terguncangnya dia begitu menatap notifikasi di layar.

Dua belas panggilan tak terjawab, dan satu pesan masuk yang berisi: Angkot yang mama tumpangin buat jemput lo kecelakaan dan sekarang mama lagi di rumah sakit di jalan Mawar. Tadi gue telepon tapi lo gak angkat terus. Lo kenapa sih lembur gak bilang-bilang dulu? Kita udah nungguin lama sampe mama bela-belain jemput lo ke tempat kerja!

Sepersekon selepas membaca untaian kalimat tersebut, Aksara beranjak ke rumah sakit dengan tergesa sembari membawa gelegak penyesalan di dada.

***

Ketukan pintu mengudara beberapa kali. Terdapat gugup yang melanda, tetapi Aksa tetap memberanikan diri.

Terhitung seminggu semenjak tragedi kecelakaan itu. Argumen sengit sempat tercipta antara dia dan adiknya. Beruntung, ibunya tak mengalami luka yang parah hingga beliau bisa pulih dengan cepat. Hanya saja mirisnya, sedari detik itu pula, sosok pria yang selalu loyal menemaninya bercengkerama seakan raib entah ke mana.

Alhasil disinilah Aksa; di depan pintu kamar yang dia yakini di dalamnya ada Baskara. Berharap semoga orang yang dimaksud memunculkan diri, hingga si gadis dapat meminta maaf atas apa yang sudah terjadi. Ya, kautahu, rasa bersalah nyaris membusuk dalam hatinya belakangan ini. Dia tak mau membiarkannya lebih lama.

Gadis itu kembali mengetuk. Dan tanpa diduga, pintu tersebut perlahan terbuka.

“Selamat pagi, Bas—”

Kalimatnya tercekat begitu melihat siapa yang muncul.

Presensi itu bukan pria jangkung yang memiliki rambut kecokelatan, melainkan seorang gadis berusia rentang tujuh belas tahun. Sama seperti Aksa, gadis tersebut juga tampak kebingungan.

“Maaf, ya, Kak. Ada perlu apa?” tanyanya.

Sepasang netra Aksara membulat. Dia berubah gelagapan. “M-Maaf, kamu ... siapanya Baskara?”

Kening gadis itu mengerut. “Loh? Saya gak kenal, Kak. Saya baru aja pindah ke sini tiga minggu yang lalu.”

Deg.

Seolah mesiu baru saja dilesatkan di dalam kepalanya, Aksara sontak mematung. Gak mungkin, batinnya, Baskara udah di sini sebelumnya. Berbagai kuriositas lantas bermekaran. Gelenyar aneh juga menyapa perasaan. Kenapa semua ini mendadak tak dapat dicerna akal sehat?

“Um ... tapi Kak, maaf sebelumnya. Kakak ... gapapa, ’kan?” Pertanyaan gadis tersebut sejenak membuat Aksa memokuskan atensi. Si gadis tampak takut-takut. Namun dia tetap melanjutkan dengan perlahan.

“Soalnya ... kalo abis buang sampah, saya beberapa kali liat kakak ngobrol sendiri di depan kamar kos. Padahal udah malem banget, dan kakak baru pulang kerja. Terus kemaren-kemaren pas kakak nolak uang kembalian, saya kebetulan lewat. Saya bingung, padahal kakak sering banget beli martabak bapak itu, tapi kakak bilang ... kakak belum pernah beli martabak. Maaf kalo kesannya lancang, tapi kakak itu ... gapapa, ’kan?”

Tepat setelah seuntai fakta tersebut singgah di telinga, Aksara benar-benar merasa dunia tak lagi berputar di porosnya.








the end.
first time published: july 21st, 2020.







Hanara’s Note:
Um, ya, ini udah lama sebenernya. Awal 2020? Akhir 2019? Lupa, wkwk. Pertama bikin karena mau diikutin buat lomba, temanya “Memanusiakan Diri Sendiri.” Dan udah ketebak lah ya kenapa sekarang naskahnya dipublish disini, hehe. Yups, gak lolos. Aku udah firasat sih dari awal submit. Soalnya 1) format naskah yg gak sesuai, karena apk nulis di hp aku gak ada font TNR dan aku gak punya laptop, aku masih malu minta tolong temen buat editin, so yeah, 2) setelah kubaca ulang, emang kayaknya gak masuk ke tema yg dilombain. Sedih? Jelas. Aku bikin itu tiga hari, semangat, ngebut, tapi ya anakku yg satu ini kayaknya belum jodoh naik cetak wkwk.

Curhat aja sih, haha. 

Jadi, gimana? Ketangkep gak Baskara itu sebenernya siapa? Yang mau ungkapin dugaannya, yuk ngobrol sama aku. ^^


P.s EYD-nya belum aku upgrade, jadi harap maklum, hehe.

Komentar

Postingan Populer