Itterashai, Onii-san! [Cerpen]

Itterashai, Onii-san!
[Didedikasikan untuk Kakak saya tercinta.]


***


Kursi di ruang keluarga pagi ini mendapat penghuni sementara: tumpukan pakaian yang tertata rapi, sebotol air mineral, dan satu kantong keresek besar berisi beras. Di sampingnya terdapat sebuah tas backpack medium sewarna cokelat dengan motif hitam yang acak. Tanpa perlu bertanya saja, aku sudah paham kenapa mereka ada disana: kakakku akan kembali berangkat kerja.

Dan hal tersebut bukan sebatas spekulasi semata. Terbukti saat sebuah konversasi tercipta antara mama dan si empunya tatkala dia mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas tersebut.

“Di jalannya hati-hati, ya,” kata mama sembari menyerahkan sebungkus bekal; nasi lengkap dengan lauknya.

Kakak melirik jam dinding sekilas, lalu menyampirkan tas setelah semuanya dikemas. “Iya, Ma.”

Aku cuma jadi penonton saja disana. Sampai kemudian kami berjalan ke pintu, dan kakak mengenakan sepatu. Jika diberi pilihan antara hidup di rumah atau merantau di daerah orang, sudah jelas kakak pasti mengambil yang pertama. Tapi dia butuh pendapatan, dan diam di rumah tidak menghasilkan itu. Tersirat keengganan untuk pergi dari ekspresinya, dan aku tahu kalau dia tengah memaksakan dan menguatkan diri demi kelangsungan hidup.

Abi mangkat nya, Ma.”[1] Kakak mencium punggung tangan mama. “Do'akeun sing sukses, sehat, tur barokah rezekina.”[2]

Mama mengangguk seraya menepuk-nepuk punggung kakakku pelan. “Iya, Ema[3] mah selalu mendo'akan. Jung geura mangkat[4]. Semoga dapet hasil yang baik. Jangan lupa kesehatan jaga ya, apalagi lagi wabah kayak gini.”

Setelah acara sungkem singkat tersebut selesai, atensi kakak lalu beralih padaku—yang tengah berdiri di belakang mama sembari menahan tangis. Sambil menyematkan cengiran dia berkata, “Gue berangkat ya. Lu bantuin ema di rumah.”

Detik itu aku menampilkan raut muka acuh tak acuh selagi mengangguk. “Iya, iya. Hati-hati!” timpalku. Kemudian punggung berbalut jaket jeans itu kian menjauh dari pandangan.

Mama memang berperilaku seperti biasanya. Wanita paruh baya itu kembali meneruskan pekerjaannya sebagai seorang ibu rumah tangga dengan tenang; seakan kepergian sang Anak tidak membekaskan gelenyar pedih. Namun aku jelas paham bahwa dia menyembunyikan hal itu rapat-rapat. Pasalnya, ibu mana yang tak merasa sedih saat melepas pergi buah hatinya? Mama cuma berusaha tegar, kuyakin begitu.

Sebab aku merasakannya sendiri.

Rasanya ada satu keping yang hilang dari tatanan semula. Kamar sepetak dengan kasur sewarna biru lautan itu tak akan lagi ditiduri untuk saban hari ke depan. Pula dengan kursi di ruang tamu; karpet di depan televisi; mereka kehilangan satu penghuninya. Menyadari hal-hal tersebut sukses bubuhkan rasa sesak di dada. Sampai pada taraf likuid di kedua mataku menerjang pipi kendati sudah kutahan susah payah.

Untuk waktu-waktu yang akan menghampiri, aku akan sendiri. Tanpa teman berkelahi; teman adu bicara; teman berbagi cerita; teman pemberi nasihat; teman yang suka menyuruh ini-itu. Namun kendati begitu, aku tetap memanjatkan harapan terbaik untuknya.




the end.
finished June 11th, 2020.
first time published June 11th, 2020.
by hanaranur.




Footnote:
[1] Aku berangkat ya, Ma.
[2] Do'akan semoga sukses, sehat, dan berkah rezekinya.
[3] Mama/Ibu.
[4] Sana, cepet berangkat.




Note:
Saya sedih banget. Kakak saya yang suka ngajak ribut, tempat ngehotspot, tukang suruh; sekarang udah berangkat lagi. Tapi kalo di rumah terus kasian, sih. Dia pengen nabung katanya. Mohon do'anya, ya! :")

Komentar

Postingan Populer