Don't Be A Coward [Cerpen]
Don't Be A Coward
karya: hanaranur
***
“Dia sudah lama di sana?”
“Lumayan. Mungkin sepuluh menit.”
“Tapi Ra, aku ... sedikit gugup.”
“Itu sih sudah pasti.” Yang diajak bicara menimpali pelan selagi fokus memerhatikan seseorang di depan sana. Melirik sekilas ke samping, ia melanjutkan, “Tapi aku tidak mau, ya, kalau kau jadi pengecut lagi. Aku sudah susah payah membujuknya untuk pulang bersamamu, tahu. Lagipula memangnya kau tidak tega melihat Mia celingak-celinguk seperti itu?”
Senyap.
Alih-alih menerima tanggapan, Nara justru menemukan Zafran tertunduk dalam. Desir angin yang berpadu dengan riuh rendah lantas mendominansi untuk beberapa saat; mengisi bungkam yang tengah menyelimuti keduanya. Agaknya teman sekelasnya yang satu ini masih digerayangi bimbang, begitu asumsi si gadis. Terbukti dengan raut muka tak terdefinisi yang ditangkap dwinetra.
Kendati itu membuatnya cukup terganggu, sih.
Sebuah decakan singkat tercipta begitu si gadis melirik arloji di pergelangan tangan. Jarum jamnya sudah berdetik di angka tiga; terhitung lima belas menit mereka bersembunyi di balik vanding machine sembari terus mengawasi seseorang yang tengah berdiri beberapa meter di depan sana. Untung saja halte pada jam-jam seperti ini tidak terlalu membuat sesak napas; cuma ada empat-lima orang calon penumpang. Tapi Nara agak iritasi begitu menemukan Mia—siswi dari sekolah tetangga—beberapa kali menoleh ke kanan-kiri dengan gusar.
“Zaf, kau berniat mengatakannya tidak, sih? Nanti kalau dia pergi duluan bagaimana?”
Kekesalan Nara jelas tersulut. Sebab kalau diingat kembali, tepat semenjak temannya tersebut berkata ingin mengungkapkan perasaan terhadap seseorang, ia sudah berusaha membantu mati-matian—meski ia tak bisa menampik jika ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Mungkin sudah empat kali rencananya gagal, kalau gadis itu tak salah mengkalkulasi. Dan ia benar-benar ingin mengakhiri ini semua; bukan karena lelah, tapi lebih pada tak lagi bisa bertahan.
Pemuda di sampingnya lantas menegapkan badan. “Oke, oke, akan kukatakan. Aku juga ... tidak ingin memendam perasaanku lebih lama lagi,” ungkapnya sebelum kemudian meraup napas dalam. “Terima kasih banyak untuk bantuanmu selama ini, Ra. Kau memang teman terbaik. Jangan lupa untuk mendo'akan aku, ya. Aku duluan!”
Gadis yang bulan lalu genap berusia tujuh belas tahun itu menampilkan cengiran seraya mengacungkan jempol. Zafran menangkap ekspresi tersebut sebagai tanda memberi dukungan, meski pada hakikatnya benar-benar tidak demikian. Ada relung yang tengah sekarat; tatap yang mulai kehilangan harap. Namun tentu saja itu semua disembunyikan. Sampai-sampai lesung kecil di kedua pipi terlihat tatkala pemuda itu mengulas senyum—sebuah isyarat jelas bahwa ia tak mengetahui apa-apa—sebelum kemudian pemandangan beralih pada dua orang remaja yang bertemu malu-malu.
Diam-diam Nara terkekeh pahit. Teman terbaik. Frasanya terdengar sederhana, semacam pujian yang memang lumrahnya memantik rasa senang. Tapi gadis dengan rambut berponi tersebut sama sekali tak merasa begitu. Alih-alih, sebilah pedang justru seakan menyayat sekujur presensinya habis-habisan. Jadi ketimbang membiarkan diri sendiri tenggelam dalam kubangan luka, ia memutuskan untuk segera memutar arah dan—
Bug!
“Aw ....” Refleks memegang area kepala, ringisan pelan keluar dari bibirnya. Tadi itu apa? Masa iya menabrak tiang? Matanya memicing menahan sakit selagi mundur satu-dua langkah. Barangkali Nara akan berpikir bahwa kepalanya memang membentur benda mati atau apalah—walaupun rasanya tidak sekeras itu—tapi asumsinya pecah begitu menemukan satu presensi familier tahu-tahu berdiri di hadapan. Nara jelas terkejut. Kendati dibalut jaket kelabu tua, si gadis masih bisa melihat seragam serupa yang dikenakan di baliknya. Hanya saja selagi menjejalkan tangan ke dalam saku, pemuda itu loyal tenang seakan hal barusan bukanlah apa-apa.
Lantas di detik selanjutnya Nara sadar; mereka menjadi anggota di klub sekolah yang sama.
“Dafa?! S—Sejak kapan kau disini?”
“Bodoh.”
“Hah?”
“Kau bodoh.”
Oke, bagus. Alih-alih permintaan maaf atau—setidaknya—jawaban yang logis, justru dua kata rendahan itu yang singgah di telinga si gadis. Well, sifat Dafa memang begitu, sih. Di klub pun dia irit bicara, tapi sekalinya membuka mulut, pasti banyak hati yang terpelintir; kurang berekspresi; tingkah lakunya hampir menyerupai berang-berang. Poin baiknya Nara sudah terbiasa akan hal itu; meski belum pernah sekelas, setidaknya mereka sudah cukup mengenal satu sama lain mengingat jadwal pertemuan klub sastra terbilang sering.
“Seharusnya kau katakan saja, jangan sok kuat,” lanjutnya. Dwinetra—nyaris—zamrud itu menatapnya lamat. Namun tak ada secuil pun kehangatan yang ditemukan disana. “Kau itu sebenarnya ingin di posisi orang yang hari ini pulang bersama-nya, ’kan?”
Gadis itu terkesiap. Ia merasa tertangkap basah, jadi ia buru-buru memalingkan wajah. “A-Apa maksudmu? Tiba-tiba ada disini begitu. Lagipula bicaramu terlalu tinggi. Jangan sok tahu.”
“Aku memang tahu.”
“Kenapa yakin sekali, sih?”
Dafa menjawab tanpa gamang. “Karena itu benar.”
Pukulan telak.
Sejatinya Nara benci untuk menerima fakta bahwa pernyataan tersebut tepat sasaran. Namun terus menampiknya juga tidak akan mengubah apapun. Jadi ia cuma bisa bungkam selagi meremas ujung rok biru gelapnya tatkala menimpali lirih, “Aku hanya ingin membuatnya bahagia. Apa itu salah?”
Embusan napas jengah sejenak mengudara. “Dengan membuat dirimu sendiri terluka?” Anak rambut sekelam jelaganya bergoyang pelan saat semilir angin menerpa—tepat beberapa menit setelah bus datang. “Jawabannya sudah jelas.”
“Kalau begitu aku tidak peduli. Selama aku masih bisa bersamanya, aku rasa aku akan baik-baik saja.”
“Walaupun masih sebagai teman?”
“Itu ... bukan masalah.”
“Hooo ....” Seulas ekspresi sejenis terkejut-tapi-kagum tersemat selagi Dafa memangut-mangut. Untuk sejenak Nara dibuat heran sebab tanggapan seperti itu dirasa tak berkorelasi. Tapi laiknya diempaskan mutlak setelah mencapai langit, ia mendadak ingin melempari Dafa dengan batu saat mendengar pemuda itu mengimbuhkan polos, “Aku tidak menyangka kalau kau setolol itu. Belajar dari mana?”
Berengsek.
Presensi di halte akhirnya surut total tatkala bus melaju; itu jika mereka tidak dihitung. Bangku-bangku lantas kembali kosong sebagaimana atmosfer yang mulai diinvasi keheningan. Jalanan juga tampak lengang. Cuma ada beberapa kendaraan yang melintas nyaris sepuluh menit sekali. Namun hal tersebut seakan berbanding kontras dengan pekikan jengah si gadis.
“Sebenarnya maumu apa, sih? Kau sudah mengikuti sejak tadi, ’kan? Dasar penguntit!” Mengeratkan tas yang tersampir di pundak, Nara tampak bersiap meraup langkah. “Melayanimu memang membuang-buang tenaga, ya. Kalau begini lebih baik aku pulang saja sedari—”
Kerongkongannya mendadak kering begitu Dafa mencekat pergelangan tangannya seketika. Tentu saja itu membuat risi. Tapi tak ada kesempatan untuk melontarkan cibiran sebab lagi-lagi pemuda itu lebih dulu melontarkan kalimatnya—dengan sedikit aksentuasi. “Dengar,” pintanya. Tegang tiba-tiba merambati suasana selagi Dafa melayangkan tatapan menusuk. “Berusaha membuat orang lain bahagia itu pada dasarnya perbuatan mulia. Tapi jika setelah melakukannya kau masih saja menyesal, menurutku itu jadi tidak ada gunanya.”
“Aku tidak menyesal.” Nara melepaskan cengkeramannya secara paksa. “Berhenti berbicara seenaknya.”
“Berhenti membohongi diri sendiri.”
Gadis itu mendecih selagi mematrikan senyum kecut. “Langsung pada intinya, deh. Sebenarnya kau ingin aku bagaimana, hah?”
“Jangan jadi pengecut.”
Deg.
Laiknya menemukan matahari terbit di ufuk barat, jantungnya nyaris berhenti dalam sepersekian detik. Nara sontak bergeming. Dwinetra kecokelatannya dihuni kekosongan seiring dengan merambatnya sulur-sulur keterkejutan absolut. Bagaimana mungkin seseorang bisa setepat itu ketika dia bahkan tak diberitahu apapun? Untuk sepuluh detik disana ia cuma bisa bungkam dengan kuriositas yang bermekaran di dalam rongga kepala. Sampai akhirnya ia kembali lahirkan kata-kata setelah sebelumnya meneguk saliva getir.
“Entah kenapa hari ini kau banyak bicara, ya? Tidak seperti dirimu yang biasanya,” tuturnya sembari terkekeh tak habis pikir. Mendongak guna mempertemukan netra keduanya, gadis tersebut masih tak menemukan setitikpun aura cerah dari milik si lawan bicara. “Kalau memang aku pengecut, kau mau apa memangnya? Lagipula kau juga sama saja, ’kan?”
“Aku tidak sama.” Dafa menimpali tegas.
“Oh, ya? Kalau begitu buktikan! Buat aku—”
“Nara, aku menyukaimu.”
Dalam sejemang, Nara terhenyak. Namun ia konstan menggeleng dan mendoktrin diri sendiri kalau mungkin tiga kata barusan hanya sebatas bualan. Apa-apaan, coba? Lantas merotasikan bola mata, ia menanggapi sekenanya, “Ha, usaha yang bagus. Manusia batu sepertimu memang terdengar aneh kalau berlelucon.”
Dalam praduganya, adalah tawa lawan bicara—yang kemungkinan besar akan terdengar kaku karena dia jarang tertawa—yang akan mengudara setelahnya. Namun, tidak. Realitanya amat bersinggungan. Yang ditemukannya justru seulas raut muka bernada skeptis; Dafa menaikkan sebelah alis. Pun pemuda itu tampak meneliti presensi di depannya untuk waktu yang terbilang lama—tentu saja itu membuat Nara digerayangi asumsi-asumsi aneh—sebelum kemudian berbalik dan tampak beranjak pergi.
“Terserahlah. Yang penting sudah kubuktikan kalau aku tidak sepertimu.”
Ia mengendikkan bahu sambil lalu. Gerak-geriknya loyal seperti air di sungai yang dalam; tenang tapi menghanyutkan. Sementara ia abai saja pada presensi di belakang yang bahkan kini kewarasannya tengah dikikis perlahan. Rona merah tak ayal merangkak naik ke kedua pipi gadis itu beriringan dengan mengalirnya desiran abstrak di dalam relung.
“Hei, Nara.” Tak sampai menjejaki dua meter, Dafa sejenak menghentikan langkah untuk menoleh. Kedua tangannya tetap terjejal di dalam saku. “Karena rumah kita searah dan hari ini kebetulan kita bertemu, kau berminat pulang bersamaku tidak? Tapi kalau mau berdiri terus disitu, aku tidak memaksa.”
the end.
finished on Mei 17th, 2020.
first time published on Juni 5th, 2020.
by hanaranur.
Note:
Okay, ini alay banget! Sejujurnya aku geli sendiri pas nulis dan ngebayangin tiap adegannya huhuu. Tapi ada poin yang aku sampein, dan aku pengen bisa "ngejamah" banyak orang. Karena aku pikir kebanyakan yang baca blog ini tuh di usia remaja sampai dewasa awal, jadi aku bikin ceritanya yang bertema seputar itu. Emang banyak sih genre yang bisa aku tuang—gak melulu soal cinta-cintaan—tapi aku belum pd buat ngeeksekusinya. Yang jelas, pokok utama dari yang mau aku kasih tau itu udah diomongin sama tokoh Dafa di paragraf 37. Dan itu berlaku bagi siapapun; gak hanya buat remaja, gak hanya soal cinta menye-menye, tapi literally for people and for many kind of problems in this life. Semoga berhasil nyampe ke kalian yang baca.
Last but not least, thank you pretty much for coming! Your presence is really cheer me up! I also kindly ask you for any suggestions or appreciation; it would be appreciated!
P.s Tau gak kenapa aku bawa-bawa klub sastra? Soalnya aku pas nulis ini ngebayangin Oreki Houtarou sebagai Dafa; yups, aku masih bucin Hyouka (rewatch buat kedua kali: 2018 akhir sama bulan lalu).

Komentar
Posting Komentar