Teman Bicara: Malam [Sebuah Cerpen]
Teman Bicara: Malam
By Hanaranur
***
“Kakak tahu nggak, kenapa kita bisa ketemu?” tanyaku, tanpa taruh atensi padamu.
Pertanyaan itu sebenarnya sudah sering kulontarkan di setiap kali kita bertemu. Agaknya hal itu pula yang membuatmu kini terkekeh renyah. Aku masih tak sanggup menoleh. Kendati kamu duduk di sampingku dengan beberapa spasi, tetap saja aku merasa canggung. Sebab ditilik dari postur tubuh, kamu terlihat baru menginjak usia dua puluh; tiga tahun lebih tua dariku.
“Malam ini cerah banget, ya?” timpalmu, sama sekali tak berkorelasi dengan pertanyaanku sebelumnya. Kamu tampak menengadah begitu kulirik. “Sayang loh, kalau cuma dipake duduk di taman yang sepi kayak gini. Kamu harusnya keluar bareng keluarga. Lagian yang kita obrolin gak pernah penting dan gak lama juga. Iya ’kan?”
Ah, benar.
Di setiap pertemuan kita, konversasi yang tercipta memang kebanyakan tak memiliki arti sama sekali. Kita cuma membahas hal-hal ringan, lalu tertawa. Kadang juga cuma saling lempar tanya mengenai bagaimana kehidupan di hari-hari sebelumnya—khusus untuk yang satu ini hanya aku yang sering bercerita. Akan tetapi anehnya, kamu cuma bereksistensi begitu aku tengah menikmati setiap jengkal panorama bumantara malam. Dengan asal yang tak pernah sekalipun aku tahu dari mana. Pun dengan identitasmu yang sama sekali tak kuketahui kejelasannya.
Dan sekarang aku benar-benar bingung: 1) Siapa dan dari mana kamu? 2) Sebenarnya apa alasan kita dipertemukan?
“Kamu bentar lagi lulus SMA, ’kan? Mau ngelanjutin ke mana nih? Jangan sampai kamu berhenti gitu aja loh ya.”
Aku nyaris kehilangan akal begitu mendapati kedua sudut bibirmu terangkat. Kamu memang salah satu ciptaan Tuhan yang paling kusyukuri eksistensinya. Dwinetra kecokelatanmu seakan dibuat tenggelam begitu senyuman itu mengembang. Terlebih, pesonamu bak kian merekah tatkala surai segelap arang itu dipermainkan hembusan angin. Hanya saja, aku tahu, di balik sorot itu terdapat banyak hal kelam yang tengah kamu sembunyikan. Termasuk alasan mengapa kita dipertemukan.
Hening lantas menyambangi atmosfer begitu kita sama-sama bungkam. Bukannya aku tak mau merespons, aku cuma ingin menikmati detik-detik di mana nyanyian malam berdendangan. Semilir angin tiba sesekali dan itu sukses sebarkan sensasi tentram. Gemerisik dedaunan juga tak ayal tercipta tatkala pepohonan di sekitar bergoyang perlahan. Rasanya sayang sekali jika semua itu dilewatkan, bukan?
Adalah taman bekas di atas bukit yang—acap kali—menjadi tempat kita merajut konversasi. Beberapa fasilitas seperti ayunan dan perosotan sudah cukup terbengkalai. Yang masih terbilang bagus hanya sebuah kursi panjang yang menghadap pemukiman—tentu terhalang pagar seperut yang membatasi sekeliling bukit—kendati pun terdapat beberapa goresan di permukaannya.
Alasanku selalu ke sini setiap malam? Kamu tentu sudah tahu: langit, kerlap-kerlip lampu pemukiman, serta ketenangan. Aura yang mereka torehkan sangat magis buatku. Sampai pada taraf di mana untaian frasa saja terkesan terlalu remeh untuk menjabarkannya. Sungguh tak terdefinisi. Begitu pula dengan presensimu, Kak.
Aku masih ingat, kemunculan pertamamu adalah saat bulan purnama bersinar temaram. Detik itu aku baru saja sampai di bukit, lantas kamu tiba-tiba duduk beberapa puluh senti di sampingku dengan kemeja flanel yang lengannya tergulung sampai siku. Tentu aku terkejut. Namun kamu malah mengembangkan senyuman dengan santainya seolah tak ada masalah apa-apa. Padahal saat itu aku sedang di titik selemah-lemahnya.
Ah, bahkan sampai sekarang pertanyaanku masih sama.
“Ngerasa capek sama kecewa itu manusiawi, kok. Kamu gak usah khawatir,” ucapmu tiba-tiba; membangunkanku dari lamunan. Kita lantas merajut tatap dalam beberapa detik. Agaknya kamu cukup terkejut dengan raut wajahku yang menampilkan ketidakmengertian, sebab itulah kamu mengusak tengkuk sembari terkekeh dan menjelaskan, “Ahaha, kamu bingung, ya? Maaf, aku cuma gak mau kamu nyalahin diri sendiri dan selalu ngerasa lemah gara-gara ngerasain capek sama kehidupan. Itu hal wajar, loh. Kayaknya semua orang juga sama. Namanya juga manusia, ’kan?”
Hanya saja, bukan itu yang kumaksud. Tanpa sadar aku menyipitkan mata selagi menimpali perkataanmu. “Tapi kok ... Kakak tiba-tiba ngomong gitu? Kita ’kan lagi gak ngobrolin apa-apa?”
“Tapi, jangan jadi manipulatif terus.”
“Hah? Kok malah—”
“Soalnya percuma kalo kamu bahagiain orang tapi diri kamu sendiri malah terus-terusan kesiksa.”
Apaan, sih?
Seolah suhu di sekeliling kita terjun drastis, sekujur tubuhku dibuat membeku. Apa yang terlontar dari bibirmu sukses menusuk tepat di relungku. Sorot sepasang netramu itu berubah mematikan. Senyum yang semula merekah kini bak rontok disapu angin. Dingin yang abnormal pun mendadak menyelimuti suasana. Kamu loyal menatap sendu, sedangkan kuriositas malah mengobrak-abrik pikiranku: sebenarnya kamu siapa?
Aku berniat bertanya kembali, tetapi kamu lebih dulu menginterupsi.
“Kamu itu kayak lilin di ruangan yang gelap. Kamu nyinarin segala sesuatu yang ada di sekitar, tapi gak pernah peduli sama keadaan diri kamu yang perlahan-lahan meleleh. Giliran cahaya kamu mati, kamu malah nyalahin diri sendiri.” Kamu mengembuskan napas sejenak. “Jangan kayak gitu, ya? Ngebahagiain orang itu emang hal yang baik. Tapi bukan dengan cara nyakitin diri kamu sendiri sampe segitunya. Kamu gak harus terus keliatan sempurna. Hal yang wajar kok kalau kamu ngelakuin kesalahan; jangan jadiin itu alasan buat kamu ngerasa gak berguna. Kamu itu cuma manusia. Beda ceritanya kalo kamu titisan malaikat.”
Bulu romaku meremang tanpa praduga. Aku juga refleks meneliti presensimu tak habis pikir dengan kernyitan di raut muka. Aku tak memberitahu secara detail, tapi kenapa seolah-olah kamu tahu betul apa yang sudah kulalui tempo hari? Bagaimana bisa untaian kalimat bernada lembut itu mengelus-elus jiwaku penuh afeksi? Dan pertanyaanku yang terakhir tetap sama: siapa dan dari mana kamu sebenarnya serta apa alasan kita dipertemukan?
Arloji berwarna cokelat yang melingkari pergelangan tanganku nyaris berdetik di angka sembilan tatkala kulirik. Ternyata kita baru mengarungi satu jam kendati rasanya sudah sangat lama kita di sini. Dalam sejemang kubiarkan derik jangkrik menyapa gendang telinga. Di sela-sela itu aku melarikan pandangan ke arah bumantara malam; kudapati banyak bercak-bercak berkilauan mengingat cuacanya sedang bersahabat. Hingga di detik kemudian, barulah aku memberimu tanggapan.
“Kakak sebenernya siapa?” tanyaku tanpa basa-basi, pula tanpa mengalihkan atensi. “Aku baru kenal kakak beberapa minggu ini, tapi kakak seolah tau banget kondisi aku, dan tau juga caranya buat nenangin aku. Kakak ini sebenernya siapa? Dari mana? Kenapa mau ngobrol sama aku?”
Tawa pelanmu mengudara sejemang. “Syukurlah kalo memang aku bisa bikin kamu ngerasa tenang.”
“Kak, itu gak cukup buat ngejawab pertanyaan aku.”
“Kamu udah tau.”
Aku spontan menoleh. “Hah? M-maksud Kakak?”
“Kamu nanyain sesuatu yang sebenernya udah jelas banget jawabannya, loh,” timpalmu seraya—lagi-lagi—mengulaskan kurva menawan. “Kamu udah tau.”
Tidak, kamu salah. Jika memang begitu, aku tak mungkin terus tenggelam dalam keingintahuan. Pertanyaan yang sama seputar eksistensimu juga tak akan kulayangkan sampai berulang. Otakku tak bisa mencerna apapun kali ini. Kamu betul-betul manifestasi dari kata misterius, kendati hal tersebut terdengar indah dan bermakna buatku. Namun, sungguh. Aku sama sekali tidak tahu!
Mengeratkan jaket, aku bersiap-siap untuk pulang. Seiring malam merangkak naik hawanya terasa semakin menusuk tulang. Dan itu adalah alasan yang bagus untuk mengakhiri pertemuan kali ini berhubung aku yakin kamu tak akan memberiku jawaban.
“Makasih ya, Kak, udah mau nemenin ngobrol,” kataku sembari berdiri. Kamu kelihatan kaget, tapi aku berusaha tersenyum setulus mungkin. “Besok malem mungkin aku ke sini lagi, kok. Kakak dateng, ya? Aku mau bawain makanan soalnya. Malem, Kak—”
Aku baru saja ingin meraup langkah ketika tiba-tiba kamu ikutan berdiri. “Aku ... gak bakalan bisa.”
“Loh? Kenapa, Kak? Emangnya Kakak besok—”
“Semoga hari-hari kamu makin baik, ya.” Kamu tidak hanya memotong ucapanku, tapi juga membuatku membantu. Desiran aneh lantas seakan mengganggu relung tatkala senyuman itu lagi-lagi mengembang di wajahmu. Meski sayangnya, senyummu kali ini mengisyaratkan sebuah perpisahan. “Banyakin waktu ngumpul sama orang-orang yang kamu sayang. Tapi jangan lupa bahagiain diri kamu sendiri juga pake cara yang baik, oke? Kalaupun kita gak lagi ketemu, kamu ’kan punya Tuhan, punya keluarga juga. Inget itu, ya?”
Deg.
Ada yang aneh. Jantungku berdetak dengan tempo yang tak biasanya. Sensasi gerah juga mendadak menginvasi, padahal kenyataannya darahku nyaris membeku. Lebih-lebih, sebuah bom atom bak mendarat tepat di hadapan tatkala kurasakan sesuatu mengaliri pipi. Sontak pandanganku memburam. Kenapa aku menangis? Kenapa rasanya ... sakit sekali?
Lalu walaupun spasi loyal kamu bentangkan di sela-sela kita, vokal beroktaf rendahmu masih jelas menjamah koklea. Hanya saja apa yang selanjutnya kudengar ternyata malah menguras kewarasanku dalam sekejap.
“Waktu itu, kamu nangis habis-habisan di sini karena kamu ngerasa kecewa sama apa yang udah kamu perbuat, walau itu sebenernya gak berdampak apa-apa bagi orang lain. Beberapa detik kemudian kamu teriak-teriakin sesuatu. Masih inget, ’kan?”
Tidak, tunggu. Masa bodoh akan ingatan itu. Aku lebih taruh atensi padamu, Kak. Tiap jengkal presensimu berpendar terang laiknya kamu merupakan titik tumpu jatuhnya sinar rembulan. Ada beberapa bulir likuid yang juga meluncur dari matamu, tetapi kurva itu loyal bertahan. Dan kamu masih bisa-bisanya melanjutkan, “Aku muncul karena diri kamu sendiri; harapan kamu. Aku tau apa yang kamu rasain walau kamu gak pernah bilang. Dan kamu pengen tenang, ’kan? Kamu udah tau semuanya, bahkan sedari awal. Kamu cuma gak sadar.”
Berbagai fakta mengejutkan bak menampar akal sehatku bertubi-tubi. Aku tak dapat melakukan apa-apa. Dunia seakan berhenti berputar pada porosnya. Aku menatapmu dengan sangat tak percaya selagi rongga kepala mati-matian mencerna segalanya. Pun seolah tak cukup, aku bahkan tak sanggup mengucapkan barang sepatah kata begitu menyaksikan bagaimana eksistensimu memudar perlahan. Dan betapa hancur pertahanan yang selama ini kujaga tatkala kamu mengikis jarak, kemudian mengusak kepalaku seraya memungkas, “Walaupun gak bisa duduk sekursi sama kamu lagi, bukan berarti aku gak ada, kok. Malam selalu hadir buat ngegantiin siang, ’kan?”
Lalu setelahnya ... eksistensi dan senyumanmu benar-benar menguap bersama udara. Tanpa mempedulikan bagaimana isakanku memecah senyap dengan gila.
FIN
First time being published on April 23rd, 2020.
Note:
Maaf ya kalo cringy abis, soalnya saya lagi mellow akhir-akhir ini, hahaha. Ketebak gak ini maksudnya gimana? Soalnya hint yang saya tulis tuh jelas banget, malah jatohnya klise wkwkw. Cuma “peregangan” aja sih ini, soalnya udah lama gak nulis.
Kalo berkenan, ceritain yuk pendapat kalian! Mau via WhatsApp atau E-Mail pun boleh, kok! Kalo mau nanya tentang makna di balik cerita ini juga silakan kalo emang ada yang gak mudeng.
Anyway, thank you for coming! 💙

Komentar
Posting Komentar