Boleh Menepi, Asal Jangan Berhenti! [Sebuah curahan untuk saling menguatkan]
Ini semua bukan apa-apa, begitu orang bilang.
Aku tahu bahwa dunia ini bukan sekadar tempat merekahnya tawa; isak tangis pun sama-sama ingin menunjukkan eksistensinya. Begitu pula dengan amarah, kecewa, dan beraneka macam rasa yang pada hakikatnya sudah melekat dengan manusia.
Ya, aku tahu.
Dalam hidup juga begitu. Bahagia bukan satu-satunya warna yang terlukis di tiap lembar predestinasi. Terdapat bercak-bercak lain; suram, sendu, depresi. Dan kurasa, bagi setiap presensi yang jantungnya masih berfungsi, mereka pasti akan menyanggah jika seseorang berkata bahwa hidup itu selamanya mulus dan datar. Cih, kalau memang hidup itu selayaknya marmer, rasanya konyol sekali.
Banyaknya rasa dan kroma—yang terlahir abstrak saat berpadu—membuat lelah serta muak di dalam relung spontan memberontak, benar?
Aku juga merasakannya. Pun kurasa, kau juga pasti begitu.
Kita sama-sama berteman akrab dengan linu yang tak pernah absen menghunjam sekujur tubuh; pening yang acap kali menusuk-nusuk kepala; tenaga yang menurun akibat terlalu sering menggerakkan sendi-sendi. Belaian peluh bahkan terasa lebih berafeksi dari siapapun. Hal-hal tak mengenakkan justru malah menjadi sahabat terloyal bagi kita. Bukan begitu?
Aku juga tahu bagaimana kau berjuang untuk tetap bernapas. Memulai aktivitas sebelum fajar menyemburat di cakrawala, lantas pulang tatkala gelap sudah bertakhta. Aku tahu, walau mungkin apa yang kita lalui memang tidaklah semirip itu.
Hanya saja, ada saatnya di mana seseorang ingin menepi selepas menjejaki jalan terjal selama berhari-hari. Begitu pula denganku. Rasanya sesak sekali; sulit bagiku untuk menghirup napas perlahan sementara tungkai tak henti meraup langkah. Pekikan matahari serta tamparan hujan sudah terlalu sering menyapa sedangkan aku sudah muak bertemu mereka. Aku ingin tempat berteduh; tempat di mana setidaknya peluhku berhenti jatuh.
Namun, tidak. Aku tidak mau berhenti. Aku hanya ingin meminta waktu untuk mengistirahatkan sendi-sendi. Sebentar saja. Tak sampai satu hari, kok. Aku hanya ingin meluapkannya sendiri; biar hanya Sang Pencipta yang mengetahuinya.
Lelah bahkan tak mampu menjadi kata yang mendefinisikan bagaimana kondisiku saat ini. Dia terdengar terlalu ringan; yang kupanggul sekarang tak seringan itu. Dan, aku tahu, pikulanmu juga sama-sama menyakitkan, bukan?
Aku bukan manusia suci, memang. Bahkan hal itu terdengar seperti lelucon mengingat dosaku tak bisa lagi dihitung. Akan tetapi, kendati berbeda dalam beberapa hal, bukankah alur kehidupan manusia itu pada dasarnya sama? Dilahirkan, tumbuh dan berkembang, beramal, mencari bekal, lantas akhirnya kembali pada Yang Maha Kuasa.
Hakikatnya, kita akan kembali; kita tengah menunggu giliran masing-masing.
Kau tahu, tidak? Pikiran untuk mengakhiri hidup sendiri sudah beberapa kali mengusik keyakinanku, loh. Sudah berulang semenjak usiaku enam belas, kalau tidak salah. Aku tidak yakin apakah kau terkejut atau biasa saja; jelasnya, dalam titik tertentu, kewarasanku terkadang lenyap begitu saja. Ada fase di mana aku benar-benar muak dan tidak tahan, tapi aku juga sulit mengungkapkannya. Pun agaknya hal itu yang membuat niat dan pikiran buruk acap kali menggoyahkan keimanan. Terdengar konyol, ya?
Apa kau juga pernah merasakan hal yang sama?
Namun, ya, kuharap hari-harimu semakin membaik. Seberapa besarpun rasa ingin matimu, jika kau masih memiliki keyakinan pada Tuhan, aku yakin kau bisa melewatinya dengan baik.
Aku tahu sekarang kau tengah tertekan. Meskipun aku tidak mengetahui masalah macam apa yang sedang kau arungi, aku tahu kau merasa lelah dan muak, bukan? Ya, selama kita adalah manusia yang hidup, hal-hal semacam itu akan selalu bereksistensi. Toh Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan; jika ada kebahagiaan, maka sudah pasti ada kesedihan.
Hanya saja, jangan menyerah, ya? Ayo sama-sama berjuang! Kita boleh saja menyeka peluh; menangis sejadi-jadinya; berteriak. Selama kita tidak mengeluh dan menyerah. Jadi, setelah menepi, ayo bangkit kembali!
Sekalipun temanmu menghilang, kerabatmu menjauh, keluargamu membisu, jangan pernah merasa sendiri. Sebab Allah selalu ada. Dia akan senantiasa mendengarkan kita kendatipun kita terkadang melupakan-Nya.
Di usiaku ke enam belas, aku sempat diterpa sesuatu yang bahkan sampai saat ini rasa pahitnya masih terasa. Saat itu keluargaku diinvasi badai; benang-benang masalah kian runyam. Barangkali bagimu, hal itu terdengar sepele, tetapi bagiku justru sebaliknya. Betapa tragedi pahit itu mampu membuatku kehilangan arah, bahkan tergoda untuk menghentikan kehidupan diri sendiri.
Aku tidak bisa menceritakannya pada siapapun, tapi aku tidak bisa menahannya sendirian. Tawa yang aku lontarkan di hadapan semua orang kala itu, semuanya dilakukan hanya demi menghilangkan niat burukku yang kian menjadi. Akan tetapi, aku malah kian dibuat muak dengan kepura-puraan.
Hanya saja, tebak apa yang terjadi selanjutnya?
Kakakku, orang yang selama ini aku kagumi serta membuatku iri, dia menjadi orang pertama yang mampu membuat pikiranku jernih seperti semula. Aku tidak bicara apapun, tapi dia selalu mengerti keadaan adiknya meski tanpa mendengar kata-kata. Dia memberiku semangat. Aku bahkan masih ingat saat dia berucap, “Semua orang pasti memiliki beban. Semua orang pasti meninggal. Tapi sebagai manusia, yang harus kita lakukan adalah tidak berhenti berdo'a, berikhtiar dan bertawakkal. Kakak tidak yakin apa amal ibadah yang selama ini dilakukan diterima, atau dosa-dosa kakak diampuni; tapi apapun kondisinya, cukup yakin pada Allah yang Maha Segalanya. Cukup serahkan pada-Nya. Juga, kalau memang kita merasa sangat berat saat memikul sesuatu, coba untuk selalu ingat bahwa di luar sana mungkin ada yang memikul beban berkali-kali lipat jauh lebih berat. Jadi jangan berhenti tabah dan bersyukur. Ya, Dek?”
Kalimatnya sederhana, diucapkan oleh manusia sederhana pula. Namun makna di baliknya tidak sesederhana itu. Dengan untaian kalimat tersebut, aku bahkan masih bisa menempuh hidup sampai tiba di titik ini. Terlebih dengan memperhatikan perjuangan kedua orang tuaku selama ini, aku sudah tidak lagi memiliki alasan untuk mencoba mengakhiri hidup. Sebab mereka selalu ada untukku, maka aku juga harus selalu ada untuk mereka.
Aku yakin bahwa kau juga pasti memiliki seseorang atau sesuatu yang tak pernah henti mengingatkanmu untuk terus berjuang. Kau masih memiliki keluargamu; tiang kehidupanmu. Jika kau merasa tak memilikinya, kau masih memiliki teman. Jika kau juga tak merasa memilikinya, kau masih memiliki Allah. Dia tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau tidak akan pernah sendirian.
Saat kau merasa sudah tidak tahan, istirahat saja. Kau boleh untuk menghentikan sendi-sendimu; jangan memaksa mereka untuk terus bergerak. Saat kau muak, menangis saja, luapkan segalanya jika memang itu mampu meringankan hal yang mengganjal dalam hatimu. Hanya saja, ingat, jangan sampai berhenti dan menyerah, ya!
Ayo berjuang bersama-sama!
—hanaranur; 24 Maret, 2020
Note:
Apa ada yang ingin disampaikan? Atau diceritakan? Saya memang orang asing, tetapi saya bersedia untuk mendengarkan. Semangat, ya! 😉
Aku tahu bahwa dunia ini bukan sekadar tempat merekahnya tawa; isak tangis pun sama-sama ingin menunjukkan eksistensinya. Begitu pula dengan amarah, kecewa, dan beraneka macam rasa yang pada hakikatnya sudah melekat dengan manusia.
Ya, aku tahu.
Dalam hidup juga begitu. Bahagia bukan satu-satunya warna yang terlukis di tiap lembar predestinasi. Terdapat bercak-bercak lain; suram, sendu, depresi. Dan kurasa, bagi setiap presensi yang jantungnya masih berfungsi, mereka pasti akan menyanggah jika seseorang berkata bahwa hidup itu selamanya mulus dan datar. Cih, kalau memang hidup itu selayaknya marmer, rasanya konyol sekali.
Banyaknya rasa dan kroma—yang terlahir abstrak saat berpadu—membuat lelah serta muak di dalam relung spontan memberontak, benar?
Aku juga merasakannya. Pun kurasa, kau juga pasti begitu.
Kita sama-sama berteman akrab dengan linu yang tak pernah absen menghunjam sekujur tubuh; pening yang acap kali menusuk-nusuk kepala; tenaga yang menurun akibat terlalu sering menggerakkan sendi-sendi. Belaian peluh bahkan terasa lebih berafeksi dari siapapun. Hal-hal tak mengenakkan justru malah menjadi sahabat terloyal bagi kita. Bukan begitu?
Aku juga tahu bagaimana kau berjuang untuk tetap bernapas. Memulai aktivitas sebelum fajar menyemburat di cakrawala, lantas pulang tatkala gelap sudah bertakhta. Aku tahu, walau mungkin apa yang kita lalui memang tidaklah semirip itu.
Hanya saja, ada saatnya di mana seseorang ingin menepi selepas menjejaki jalan terjal selama berhari-hari. Begitu pula denganku. Rasanya sesak sekali; sulit bagiku untuk menghirup napas perlahan sementara tungkai tak henti meraup langkah. Pekikan matahari serta tamparan hujan sudah terlalu sering menyapa sedangkan aku sudah muak bertemu mereka. Aku ingin tempat berteduh; tempat di mana setidaknya peluhku berhenti jatuh.
Namun, tidak. Aku tidak mau berhenti. Aku hanya ingin meminta waktu untuk mengistirahatkan sendi-sendi. Sebentar saja. Tak sampai satu hari, kok. Aku hanya ingin meluapkannya sendiri; biar hanya Sang Pencipta yang mengetahuinya.
Lelah bahkan tak mampu menjadi kata yang mendefinisikan bagaimana kondisiku saat ini. Dia terdengar terlalu ringan; yang kupanggul sekarang tak seringan itu. Dan, aku tahu, pikulanmu juga sama-sama menyakitkan, bukan?
Aku bukan manusia suci, memang. Bahkan hal itu terdengar seperti lelucon mengingat dosaku tak bisa lagi dihitung. Akan tetapi, kendati berbeda dalam beberapa hal, bukankah alur kehidupan manusia itu pada dasarnya sama? Dilahirkan, tumbuh dan berkembang, beramal, mencari bekal, lantas akhirnya kembali pada Yang Maha Kuasa.
Hakikatnya, kita akan kembali; kita tengah menunggu giliran masing-masing.
Kau tahu, tidak? Pikiran untuk mengakhiri hidup sendiri sudah beberapa kali mengusik keyakinanku, loh. Sudah berulang semenjak usiaku enam belas, kalau tidak salah. Aku tidak yakin apakah kau terkejut atau biasa saja; jelasnya, dalam titik tertentu, kewarasanku terkadang lenyap begitu saja. Ada fase di mana aku benar-benar muak dan tidak tahan, tapi aku juga sulit mengungkapkannya. Pun agaknya hal itu yang membuat niat dan pikiran buruk acap kali menggoyahkan keimanan. Terdengar konyol, ya?
Apa kau juga pernah merasakan hal yang sama?
Namun, ya, kuharap hari-harimu semakin membaik. Seberapa besarpun rasa ingin matimu, jika kau masih memiliki keyakinan pada Tuhan, aku yakin kau bisa melewatinya dengan baik.
Aku tahu sekarang kau tengah tertekan. Meskipun aku tidak mengetahui masalah macam apa yang sedang kau arungi, aku tahu kau merasa lelah dan muak, bukan? Ya, selama kita adalah manusia yang hidup, hal-hal semacam itu akan selalu bereksistensi. Toh Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan; jika ada kebahagiaan, maka sudah pasti ada kesedihan.
Hanya saja, jangan menyerah, ya? Ayo sama-sama berjuang! Kita boleh saja menyeka peluh; menangis sejadi-jadinya; berteriak. Selama kita tidak mengeluh dan menyerah. Jadi, setelah menepi, ayo bangkit kembali!
Sekalipun temanmu menghilang, kerabatmu menjauh, keluargamu membisu, jangan pernah merasa sendiri. Sebab Allah selalu ada. Dia akan senantiasa mendengarkan kita kendatipun kita terkadang melupakan-Nya.
Di usiaku ke enam belas, aku sempat diterpa sesuatu yang bahkan sampai saat ini rasa pahitnya masih terasa. Saat itu keluargaku diinvasi badai; benang-benang masalah kian runyam. Barangkali bagimu, hal itu terdengar sepele, tetapi bagiku justru sebaliknya. Betapa tragedi pahit itu mampu membuatku kehilangan arah, bahkan tergoda untuk menghentikan kehidupan diri sendiri.
Aku tidak bisa menceritakannya pada siapapun, tapi aku tidak bisa menahannya sendirian. Tawa yang aku lontarkan di hadapan semua orang kala itu, semuanya dilakukan hanya demi menghilangkan niat burukku yang kian menjadi. Akan tetapi, aku malah kian dibuat muak dengan kepura-puraan.
Hanya saja, tebak apa yang terjadi selanjutnya?
Kakakku, orang yang selama ini aku kagumi serta membuatku iri, dia menjadi orang pertama yang mampu membuat pikiranku jernih seperti semula. Aku tidak bicara apapun, tapi dia selalu mengerti keadaan adiknya meski tanpa mendengar kata-kata. Dia memberiku semangat. Aku bahkan masih ingat saat dia berucap, “Semua orang pasti memiliki beban. Semua orang pasti meninggal. Tapi sebagai manusia, yang harus kita lakukan adalah tidak berhenti berdo'a, berikhtiar dan bertawakkal. Kakak tidak yakin apa amal ibadah yang selama ini dilakukan diterima, atau dosa-dosa kakak diampuni; tapi apapun kondisinya, cukup yakin pada Allah yang Maha Segalanya. Cukup serahkan pada-Nya. Juga, kalau memang kita merasa sangat berat saat memikul sesuatu, coba untuk selalu ingat bahwa di luar sana mungkin ada yang memikul beban berkali-kali lipat jauh lebih berat. Jadi jangan berhenti tabah dan bersyukur. Ya, Dek?”
Kalimatnya sederhana, diucapkan oleh manusia sederhana pula. Namun makna di baliknya tidak sesederhana itu. Dengan untaian kalimat tersebut, aku bahkan masih bisa menempuh hidup sampai tiba di titik ini. Terlebih dengan memperhatikan perjuangan kedua orang tuaku selama ini, aku sudah tidak lagi memiliki alasan untuk mencoba mengakhiri hidup. Sebab mereka selalu ada untukku, maka aku juga harus selalu ada untuk mereka.
Aku yakin bahwa kau juga pasti memiliki seseorang atau sesuatu yang tak pernah henti mengingatkanmu untuk terus berjuang. Kau masih memiliki keluargamu; tiang kehidupanmu. Jika kau merasa tak memilikinya, kau masih memiliki teman. Jika kau juga tak merasa memilikinya, kau masih memiliki Allah. Dia tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau tidak akan pernah sendirian.
Saat kau merasa sudah tidak tahan, istirahat saja. Kau boleh untuk menghentikan sendi-sendimu; jangan memaksa mereka untuk terus bergerak. Saat kau muak, menangis saja, luapkan segalanya jika memang itu mampu meringankan hal yang mengganjal dalam hatimu. Hanya saja, ingat, jangan sampai berhenti dan menyerah, ya!
Ayo berjuang bersama-sama!
—hanaranur; 24 Maret, 2020
Note:
Apa ada yang ingin disampaikan? Atau diceritakan? Saya memang orang asing, tetapi saya bersedia untuk mendengarkan. Semangat, ya! 😉

Komentar
Posting Komentar