Cara Saya Melupakan | [Edisi K-Pop]
Cara Saya Melupakan [K-Pop] | Masih Ada Allah dan Rasul-Nya
[Ini perihal melangkah dan memutuskan. Saya juga akan menjabarkan bagaimana sulitnya melepaskan tetapi sakitnya bertahan.]
Assalammu’alaikum.
Saya tak pandai berbasa-basi, tetapi memangnya siapa, sih, yang tidak tahu K-Pop zaman sekarang ini?
Agaknya virus Korean Pop tersebut sudah merajalela; nyaris menjamah seluruh negara. Mereka selalu muncul di mana-mana. Baik di televisi, media sosial maupun media elektronik lainnya. Terdengar bukan hal krusial, memang, tetapi saya merasa miris saja.
Dua tahun lalu, saya memang merupakan salah satu penggemar mereka. Saya dibuat tergila-gila dengan semua hal-hal yang berkaitan dengan mereka; terutama dengan salah satu boygroup yang sangat saya cintai kala itu.
Di mana pun mereka tampil, apapun yang mereka lakukan, acara-acara mereka, postingan mereka, lagu dan video musik mereka; tak pernah saya lewatkan sedetik pun. Saya benar-benar tenggelam bersama mereka. Bahkan saya berusaha untuk mengoleksi merchandise yang berkaitan dengan mereka (meski pada akhirnya saya urung karena saya masih belum mampu).
Jika anda bertanya-tanya: kenapa saya bisa sampai secinta itu pada mereka?
Well, jujur saja, karya-karya mereka memang penuh dengan makna kehidupan. Alih-alih tentang cinta-cintaan atau semacamnya, mereka menyurahkan banyak sekali motivasi dan inspirasi kehidupan melalui lagu dan video musik mereka. Baik itu menyuruh kita untuk mencintai diri sendiri, mengajarkan kita arti perjuangan dan saling menghargai, menceritakan jalinan persahabatan, membahas pentingnya kesehatan mental, dan masih banyak lagi pesan-pesan baik yang bahkan tak dapat saya jabarkan seluruhnya.
Hanya saja, saya terlalu tenggelam dalam dunia mereka hingga saya abai pada dunia saya sendiri. Pun kecintaan saya tersebut justru membuat saya buta akan dampak buruk yang bahkan lebih mendominansi ketimbang yang baiknya.
Ada beberapa hal paling krusial yang terjadi khususnya pada diri saya.
Pertama, saya jadi jarang menyempatkan waktu untuk membaca Al-Qur’an. Saking cintanya saya pada mereka, selepas melaksanakan salat bukannya bertadarus, kala itu saya malah membuka ponsel dan menonton konten-konten mereka. Saya bahkan rela begadang hanya demi menanti perilisan video teaser maupun konten lainnya.
Kedua, entah mengapa mereka amat lihai membuat saya jatuh cinta hingga saya tak menghiraukan kehidupan nyata saya. Saya jadi candu sosial media hanya karena terus-menerus stalking tentang mereka. Parahnya, saat itu bahkan ponsel saya sampai panas dan blank saking sering saya gunakan.
Sebenarnya masih banyak dampak-dampak buruk yang (khususnya) saya rasakan, tetapi saya tak mampu menjabarkan semuanya. Yang jelas, saat ini saya benar-benar menyesali dan menyayangkan waktu-waktu berharga yang justru saya sia-siakan dulu. Betapa bodohnya saya hingga mudah diperdaya semacam itu.
“Tapi, Kak, menurutku gimana orangnya sih. Aku suka K-Pop tapi masih dalam batas wajar, kok. Aku masih sering salat dan ngaji. Jadi jangan nyalahin K-Pop dong!”
Perlu saya tekankan, saya sama sekali tidak menyalahkan K-Pop. Percuma saja rasanya. Eksistensi mereka sudah terbentuk dan tersebar luas, jadi kendatipun saya menyalahkan, hasilnya akan sama-sama saja. Tak ada yang berubah.
Hanya saja, ada sesuatu yang perlu diketahui. Apakah dengan mencintai dan mengidolakan K-Pop dapat membantumu kelak di hari pertimbangan? Apakah sosok yang kamu bangga-banggakan tersebut dapat memberimu pertolongan? Apakah kamu yakin bahwa dengan mencintai dan mengidolakan mereka, tidak akan berdampak buruk pada kehidupanmu yang sesungguhnya?
“Aku masih cinta mereka dalam batas wajar, kok! Jadi apa masalahnya?”
Bagi kamu yang berpegang pada persepsi tersebut, mohon untuk menjawab pertanyaan berikut—cukup lontarkan jawabanmu dalam hati hingga hanya kamu dan Rabb-mu yang tahu, tidak perlu harus menuliskannya di komentar.
Selama mengagumi mereka dalam batas “wajar” menurutmu, apakah kamu merasa semakin dekat dengan Rabb-mu?
Apakah mereka mengingatkanmu pada agamamu?
Apakah mereka benar-benar “menyelamatkan” kesehatan mentalmu, atau itu hanya perasaan kamu saja yang termanipulasi hingga seakan-akan mereka memang menolong hidupmu?
Apakah mereka menuntunmu untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya, atau kamu justru dibuat tenggelam dalam euforia yang mereka buat?
Apakah semenjak kamu mengenal mereka, kamu lebih bersemangat untuk membaca Al-Qur’an, atau justru semakin tergila-gila dengan lagu-lagu dan video musik mereka?
Jika kamu menganggap mereka benar-benar tulus mencintaimu (penggemar mereka), coba pikirkan, memangnya kamu tahu kehidupan mereka di balik layar?
Jika kamu merasa tertolong dengan lagu-lagu mereka yang membuatmu kembali bersemangat kala terpuruk, lantas mengapa kamu tidak berlari pada Al-Qur’an saja? Mengapa kamu tidak mengadukan segalanya pada Tuhanmu?
Dengar, saya tahu betul bagaimana sulitnya berhenti menyukai mereka. Saya juga pernah menolak. Saya pernah mencari pembenaran akan apa yang saya lakukan. Saya sudah sering diingatkan—baik itu secara langsung atau tidak oleh kakak saya—tetapi saya juga pernah enggan menerima nasehatnya. Saya bahkan sempat menyangkal perkataan kakak saya dan mencoba membela mereka. Saya pernah di posisi itu, kok.
Namun seiring berjalannya waktu, seiring tidak lelahnya kakak saya memperingatkan, alhamdulillah saat itu muncul dorongan dalam diri saya untuk meninggalkan mereka.
Semudah itu? Tentu saja tidak.
Pada percobaan pertama, saya gagal. Posisinya kala itu sudah setahun saya menyukai K-Pop. Percaya atau tidak, detik itu saya memiliki beribu-ribu foto serta puluhan video mereka, dan saya mencoba menghapus beberapa sebagai langkah saya untuk berubah. Kendati tetap saja di beberapa hari kemudian, saya malah kembali mengunduhnya.
Dalam beberapa bulan saya kembali tergila-gila. Yap, kian sulit saja saya melepaskan mereka, padahal sebelumnya saya sudah memiliki tekad.
Hingga di suatu hari, kakak saya mengirimkan sebuah video ceramah yang menceritakan tentang bagaimana perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan islam serta betapa beliau mencintai seluruh ummatnya sekalipun sebelumnya tidak pernah bertemu. Dan jujur, itu adalah salah satu momen terpenting sekaligus titik awal dari perjuangan saya dalam meninggalkan K-Pop.
Saya menghapus seluruh hal yang berkaitan dengan K-Pop; baik foto, video maupun unsubscribe channel mereka. Saya mencari artikel tentang kiat-kiat untuk berhijrah dari K-Pop, sampai menemukan salah satu penulis blog yang ternyata dulunya merupakan seorang K-Popers. Banyak hal yg saya ceritakan padanya—khususnya mengenai perkembangan saya dalam upaya meninggalkan K-Pop—dan dia selalu sabar menemani serta memberi saya dukungan.
Prosesnya berliku, berat, dan tentu membutuhkan waktu yang tak sebentar. Saya nyaris ingin kembali lagi, tetapi untungnya masih ada yang mau menuntun saya pada jalan yang memang seharusnya saya tempuh. Masih ada yang mau mengingatkan saya tatkala saya lupa.
Terlebih, ada satu kalimat dari sahabat tercinta saya yang berhasil menampar saya secara tidak langsung. Perkataannya juga menjadi hal krusial sehingga saya yakin untuk melanjutkan proses hijrah saya. Dia berkata, “Oke kalau kamu berpikir bahwa mereka (K-Pop) memberikan pelajaran lewat lagunya. Tapi kamu pernah kepikiran, gak, ’kan Al-Qur’an dan sunnah itu pedoman hidup kita, kenapa kamu gak belajar dari Al-Qur’an sama sunnah aja? Terus, kamu bilang kamu cinta mereka karena mereka cinta sama fans-nya. Tapi pernah gak kamu kepikiran, emang mereka bisa bantu kamu nanti di hari kiamat?”
Detik itu, seolah ada petir yang menyambar ulu hati saya.
Saya menyadari betapa bodohnya saya di tahun-tahun itu. Waktu saya terbuang percuma. Saya terlalu mencintai mereka, padahal ada Allah dan Rasul-Nya yang senantiasa mencintai saya.
Jadi bagimu yang sudah memiliki niat untuk meninggalkan mereka, teruskan. Jangan sampai kamu dikalahkan oleh tipu dayanya. Tetap berusaha sekalipun makian tak henti menghunjam. Saya merasakan, kok. Saya tahu bagaimana sakitnya dilontari cibiran serta hinaan. Saya pernah melewatinya. Namun selagi yang kamu lakukan itu demi kebaikan, apa salahnya terus berjuang?
Rasulullah selalu memikirkan ummatnya, memikirkanmu, bahkan saat beliau tengah dicabut nyawa. Lantas tak bisakah kita untuk senantiasa mencintai beliau?
Saya tak bermaksud menggurui siapapun. Saya juga masih dalam proses belajar, masih dalam proses berhijrah. Meskipun tidak signifikan—sebab akhlak saya belum terbenahi sepenuhnya dan saya masih sangat jauh dari kata sempurna—tapi setidaknya saya sudah lepas dari belenggu mereka.
Maksud saya mempublikasikan ini juga tak lain hanya untuk berbagi pengalaman. Semoga dengan ini kita dapat berjuang bersama-sama menuju jalan yang diridhoi Allah, pula khususnya bisa membantu kamu yang ingin melupakan K-Pop. Saya ini banyak dosa, sama sekali tak sempurna, tapi saling mengingatkan memang apa salahnya?
Terakhir, barangkali ada yang ingin berbagi cerita versimu atau bahkan mengobrol lebih jauh mengenai meninggalkan K-Pop, kamu bisa menghubungi saya via e-mail: sitin0110@gmail.com.
Sebenarnya perjalanan saya tak hanya begitu, tetapi saya tak dapat menjabarkannya secara mendetil sebab terlalu panjang nantinya. Hanya saja, saya berharap semoga ulasan kali ini bermanfaat. Semangat! 😊
Wassalammu’alaikum.
—hanaranur; Feb 15th, 2020

Komentar
Posting Komentar