Pertama Untuk Sepanjang Masa | Jan 02nd, 2020




Pertama Untuk Sepanjang Masa

Sebuah rangkaian aksara yang ditujukan untuk sang analogi arunika; presensi hebat yang paling kuat.


•••


Terdapat banyak kisah cinta yang tumbuh di bentala; terutama cinta pertama.

Mereka menganalogikan cinta pertama dalam berbagai aspek, tentu saja. Orang yang pertama kali membuatmu tertawa saat berusia remaja; yang membuat hatimu berdebar saat pandang pertama; banyak lagi yang mereka definisikan sebagai cinta pertama.

Akan tetapi, aku memiliki kisah cinta pertamaku sendiri. Dan sebelum kuberitahu siapa, akan kuuraikan dulu jalinan kisah di antara kami.

Kalian harus tahu, di pertemuan pertama kami—tatkala aku menyapa dunia—suara adzannya yang pertama kali menyentuh telinga. Rasanya menenangkan sekali, sungguh. Memoriku tak terlalu kuat, tetapi suaranya tetap terngiang kendati terdengar samar-samar. Aku benar-benar bersyukur karena suaranya adalah suara pertama yang kudengar kala itu.

Lantas, di usiaku yang baru lima tahun—benar-benar polos dan belum mengerti apa pun—dia menggenggam tanganku erat selagi terus berjalan. Itu hari pertamaku sekolah. Dan detik itu pula kuriositasku membuncah dalam kepala: kenapa pakaianku putih merah? kenapa rambutku diikat dua? kenapa dia membawaku ke sekolah? Juga ... kenapa dia menggenggam tanganku erat?

Tanpa sebab apa pun, tangisanku pecah. Dia tentu terkejut mendengarnya, terlebih orang-orang di sekelilingnya mulai bertanya-tanya kenapa. Sebenarnya aku menyesal. Seandainya aku tak menangis saat itu, mungkin dia tak perlu sesusah itu. Dan mungkin ... dia tak perlu menerima tatapan-tatapan itu.


Namun, kuharap dia tahu bahwa kata-kata saja tidak akan pernah mampu mendefinisikan betapa luar biasanya dirinya; betapa kuat hatinya; betapa baja sendi-sendinya. Beribu-ribu kertas bahkan tak akan cukup untuk menampung rangkaian cerita tentang kami berdua. Seindah-indahnya diksi dalam puisi bahkan tak akan mampu menandingi indah cintanya.

Ah, serpihan fragmen lampau baru saja mengetuk memoriku; aku jadi ingat sesuatu.

Kami tengah menjejaki jalan tanah setapak suatu waktu. Dia bermandikan peluh setelah seharian menggarap kebun. Aku terus berceloteh, sementara dia seringkali menimpali dengan tawa renyah. Namun beberapa saat kemudian, dia diam. Aku memiringkan kepala selagi bingung menginvasi. Akan tetapi belum juga bertanya, suaranya lantas lebih dulu mengudara.

“Nai,” Dia memanggil nama pendekku dengan lembut sekali. “Saat kau beranjak dewasa, ayah tidak akan menuntut apa pun. Ayah bahkan sama sekali tak ingin diberi harta atau semacamnya. Hanya saja, ayah ingin meminta beberapa hal. Seberapa sibuk pun nanti, jangan pernah meninggalkan ibadah, ya? Nai ingin masuk surga, kan? Nanti biar kita bisa masuk surga bersama-sama. Ayah tak akan pernah bahagia walau ayah diberi harta dan kehidupan yang mewah. Ayah hanya akan bahagia jika putri ayah menjadi anak yang sholehah. Ayah hanya akan bahagia jika putri ayah juga bahagia.”

Dia hanya akan bahagia jika putrinya bahagia, katanya.

Aku tentu belum memahami kata-kata yang dilontarkannya. Otakku masih terlalu diisi dengan hal-hal remeh untuk dapat mencerna untaian kalimat penuh makna itu. Kendati sekarang, aku sudah menemukan jutaan definisi di baliknya.

Dia benar-benar mengerahkan tenaga agar skenario hidupku dihiasi berbagai kroma.

Dia benar-benar korbankan sangkala berharganya demi melihat kedua sudut bibirku membentuk kurva.

Dia bahkan ... menepis kebahagiaannya.


Betapa tak terhingga peluh yang dia relakan jatuh demi suara tawaku. Betapa tak terukur lelah yang dirasakannya demi kegembiraanku. Betapa tak terbatas ketegarannya demi alirkan kasih di setiap napasku. Betapa ...

... aku bahkan tak sanggup menguraikannya.


Setiap bergulirnya waktu, aku terus beranjak dewasa. Akan tetapi tujuannya sama sekali tak beda; dia tetap menggoreskan bahagia dalam lembar-lembarku kendati aku sudah berkali-kali merasakannya. Bahkan meskipun aku tak lagi bereksistensi di sisinya, perjuangannya demi tanamkan suka cita untukku sama sekali tak juga temui kata henti. Kuriositasku kian bergumul: mengapa dia ... sebegitu setia dengan perkataannya, sekalipun itu sudah menjadi arsip dalam rongga kepala?

Aku berulangkali menyakiti hatinya, tetapi dia tetap saja memberiku bahagia.

Aku tak henti membebaninya, tetapi dia juga tak henti memikul semua luka yang kumiliki.

Aku bahkan sempat goreskan perih di dadanya, tetapi dia ... tak pernah memudarkan senyumannya.

Dia cinta pertamaku. Dia cinta sepanjang masaku. Dia cinta terindahku. Dia semestaku. Bumantara bahkan terlalu sempit untuk tampung rajutan kisah perjuangannya. Nebula bahkan terlalu biasa saja untuk dijadikan analogi mengenai presensinya yang luar biasa.

Dia ... ayahku.

Dia cinta yang paling kudamba dan paling kusyukuri eksistensinya.



—hanaranur; Jan 02nd, 2020











Note:

Saya sudah menjabarkan siapa cinta pertama saya. Lantas, bagaimana dengan anda?


Dan, oh, secreto saya masih dibuka, ya! (Dan masih kosong, wkwk.) Barangkali ada yg mau mengisi? Silakan mampir ke postingan ini. ^^ 
https://hanaranur.blogspot.com/2020/04/confess-to-me-everything.html?m=1

Komentar

Postingan Populer