Orific: Dia Tujuh? Tak Apa, Aku Sepuluh
Tittle: Dia Tujuh? Tak Apa, Aku Sepuluh
Created: February 11st, 2019 © Hanaranur
/ Sebuah ungkapan yang tergores dalam rangkaian frasa /
[ ••• ]
Fakta pertama yang kudapat begitu bertemu dengannya adalah, dia selalu menjadi pusat perhatian. Entah memang begitu, atau dia saja yang memanipulasi, aku tidak mengerti (dan tidak mau peduli).
Namun tetap, rasa iri itu selalu bereksistensi.
Titik mula semua ini ada di 9 tahun yang lalu. Dimana dia masih irit bicara, canggung bergerak, dan sulit berinteraksi. Kami sama-sama gadis kecil berseragam. Bedanya, aku sudah lama menetap sementara dia baru hadir. Jadi, jangan heran jika tak ada perbincangan, sebab kala itu kami belum saling mengenal.
Tersebutlah, dia kian gemilang seiring hari berevolusi menjadi bulan, bahkan tahun. Sekalinya dia tertawa, maka orang-orang di sekitarnya juga tertawa; kendati pun mereka enggan. Dia menjelma raja. Orang-orang di sekitarnya menjelma pelayan, sementara aku menjadi kaum bawahan.
Tak heran, memang. Sebab dia punya kekayaan.
Usiaku sebelas saat dia mendapatkan posisi pertama untuk ke sekian kalinya (tunggu, mungkin yang ke delapan?). Sementara aku harus berpuas diri dengan tempat di bawahnya, setelahnya, tertinggal di belakangnya. Sorak sorai didapatkannya, perhatian diraupnya, pujian tercurah untuknya.
Aku? Jangan tanya.
Tetapi tak heran, memang. Sebab dia punya aura memikat.
“Selamat, ya, Ri!”
“Ri, kamu yang terhebat!”
“Mau hadiah apa untuk pencapaianmu kali ini?”
“Semoga terus berlanjut, ya!”
“Kita sayang kamu, Ri!”
Oh, yang benar saja. Telingaku mendadak terasa panas bukan main. Bisakah kau membayangkan jika matahari berotasi tepat di samping kita? Yah, agak berlebihan, sih. Tetapi begitulah kira-kira analoginya. Panas level tinggi.
Sebenarnya, dia orang yang baik. Yang menjadi pertanyaan, orang baik ’kan bukan dia saja, tetapi kenapa harus dia yang mendapatkan segalanya? Memang harus begitu, atau dia berhasil memanipulasinya? Bingung jadinya. Tapi persetan juga, sih.
“Eh, eh, sebentar lagi Ria ’kan ulang tahun, bagaimana jika kita membuat kejutan untuknya?”
Salah satu temannya memberi usul, dan yang lain langsung mengangguk mengiyakan. Entah terkena sihir atau bagaimana, mereka kelihatan senang-senang saja. Padahal ulang tahun mereka tak pernah dispesialkan begitu. Termasuk ulang tahun si pengusul. Tetapi kenapa hal apapun yang berhubungan dengan dia, mereka menyetujuinya dengan gembira? Sebegitu pentingkah dia bagi mereka?
Di usiaku yang ke dua belas, diceritakan dia berulang tahun yang ke tiga belas. Kejutan itu benar adanya. Aku memang enggan berpartisipasi, tetapi opsi apa yang bisa kupilih? Bukannya aku “miskin” tentang segala hal?
Satu persatu mulai memberi ucapan, bahkan hadiah yang dibungkus begitu rapi. Sementara, aku menjadi pengamat saja. Di belakang mereka aku berdiri, namun entah sejak kapan pikiranku menjelajahi memori.
Di saat aku bertambah angka usia tahun lalu, tak ada yang memperilakukanku begitu. Semuanya biasa. Terlalu biasa. Tidak ada yang spesial. Jangankan kejutan, kado, atau apalah. Bahkan memberi harapan dan do'anya untukku kala itu saja, teman-teman nampak malas. Padahal mereka begitu bersemangat saat mengucapkan harapan untuk dia. Kenapa, ya?
Karena aku tak begitu bodoh, sekilas asumsi mendadak berkelebat di dalam kepala.
Aku akhirnya mengerti kenapa dia selalu istimewa. Sebab saat dia mencapai angka lima, aku masih meniti angka dua.
Aku tertinggal. Dan (dulu) selalu begitu.
Ada jeda yang membentang untuk beberapa masa. Aku bernapas lega juga akhirnya. Tak ada iri, tak ada ingin memiliki, namun rasa takut dan khawatir itu masih tetap bereksistensi. Aku takut semuanya kembali seperti semula. Aku takut menjadi dua sementara dia lima. Aku takut berada di belakangnya untuk yang kedua kali.
Dan, ya, seberapa keras pun kucoba menolak, takdir Tuhan memang sudah mutlak.
Kami berkumpul kembali. Aku dan dia, dan beberapa dari yang lainnya juga. Firasatku dari awal sudah buruk. Aku tak ingin menunjukkan diri, tetapi sialnya memang begini jalan hidup yang harus kulewati.
“Ah, ya, ampun! Sepertinya sudah lama kita tidak bertemu! Bagaimana kabar kalian?” tanyanya antusias tatkala kami dipertemukan kembali di suatu acara; bukan hanya berdua, tapi nyaris sebagian temanku berkumpul bersama-sama.
Sementara yang lain merengkuh, memeluk, serta menyalami dia dengan gembira, aku diam dan menghela saja. Muak rasanya. Hal yang kubenci malah kembali terulang. Aku tak menyapanya, pun dia nampak tak acuh saja seolah presensiku tidak ada di sana. Kami masing-masing, akhirnya; dia dengan kerumunannya sedangkan aku dengan gelegak sebal yang kian membumbung.
Di mata orang-orang, dia memang paling “wah”. Mereka mengagungkannya, mendamba, mengirim berbagai macam pujian. Tetapi tentu, aku sama sekali tidak begitu. Adalah aku satu-satunya orang yang tak tertipu oleh keburukan di balik topeng palsunya. Jadi aku hanya menjadi diri sendiri, persetan soal mereka yang kerap kali melemparkan tatapan sinis seolah aku sudah melakukan dosa terbesar.
Sangkala lantas berjalan, aku berusaha mati-matian membuktikan bahwa aku dapat melampaui paradigma yang telah diraihnya. Dan, ya, barangkali merangkai skenario sendiri ke dalam suatu cerita nampak sepele, namun aku mantap melakukannya sebab kutahu itu justru menjadi pukulan telak untuknya. Perlahan kueja kata demi kata, kalimat demi kalimat, lantas kuciptakan sendiri alur yang kuinginkan. Aku berhasil—kendati memenangkan beberapa lomba sederhana tapi euphorianya membanggakan sekali.
Dan, ah, lega sekali rasanya. Dia yang semula selalu menjadi tumpuan atensi, sosok yang paling diagungkan, kini bisa kuputar balik dengan caraku sendiri. Dulu dia memang tujuh—terdengar sempurna. Namun aku berhasil menunjukan bahwa sekarang aku adalah sepuluh, dengan jalanku sendiri.
- End -
Published: September 07th, 2019
Note; Cerita di atas adalah murni karya saya sendiri, jadi tindakan penggandaan/plagiat dalam bentuk apa pun tidak diperkenankan. Terima kasih.

Komentar
Posting Komentar