[Orific] Si Manipulatif: Menyebar Kroma, Memendam Gulita
Tittle: Si Manipulatif: Menyebar Kroma, Memendam Gulita
Created: April 8th, 2019 - April 10th, 2019
[Sebuah keluh-kesah seorang manusia manipulatif yang tak lagi bisa menahan rasa muaknya.]
Bukanlah sebuah impian, aku begini sebab adanya predestinasi. Dari tiap sekon yang tak lekang mendikte—“tik-tik-tik”, katanya—yang bisa dilakukan hanya menjalani. Hei, bukankah begitu?
Kaleidoskop bertebaran dalam pikiran, hanya saja jangan salahkan jikalau aku tak begitu memiliki ingatan. Toh, terlalu suram, hitam-putih, sulit untuk kujabarkan. Jelasnya, barangkali kau bisa membulatkan persepsi: sejak lima belas tahun aku mulai berevolusi.
Ya, persis seperti ini.
Aku tipikal ceria, orang-orang kata. Senyum tak ayal terulas apik tatkala bertatap muka. Hanya saja mereka tak pernah menerka-nerka bahwa diriku sebenarnya tidak akan bisa ditangkap dengan mata, melainkan dengan atma: rasa. Ya, jangan pusing dengan pernyataan ini. Cukup pahami, maka kau tak perlu susah-susah mencari.
“Kamu enak, ya, hidupnya kelihatan bahagia selalu.” Sekiranya begitulah kalimat yang acap kali mengentuk koklea; jelas terlontar dari mulut milik mereka.
Lantas, aku terbahak saja. Tanpa perlu berdebat panjang, maknanya sudah terpampang. Entah memang tak menyadari atau mungkin lebih tidak peduli, aku tak tahu pasti. Kata “kelihatan” itu sendiri amat krusial dalam hal ini. Karena ... ya, aku memang kelihatan bahagia selalu—aslinya siapa yang tahu, bukan?
Menghela napas jemu, aku laiknya orang dungu. Berkali-kali kukatakan pada diri sendiri: jadi dirimu sendiri, semuanya akan baik-baik saja, tenanglah, dunia pasti menerima, dan nada penyemangat semacamnya. Namun berkali-kali pula kuciptakan tabir hitam yang pada akhirnya menghalangi apa yang menjadi kebenaran.
Bodoh, memang.
“Banyak yang ingin kuungkapkan, mau dengar?” Seringkali dunia bertanya. Pula tak jarang meminta waktuku agar menjadi wadah curahannya. Sifat periangku yang menjadi sebab, alhasil dunia kembali menyambung ucap, “Aku mengalami masalah begini. Sulit sekali menjalaninya, asal kautahu. Bahkan sesaat sebelum selesai, masalah begitu muncul. Aku sudah tak tahan. Mengingat itu, terkadang aku iri padamu. Kau selalu bahagia, ceria, tak pernah berhenti menunjukkan senyum indahnya. Kau beruntung.”
Sekali lagi, dengan aksentuasi tinggi, diriku yang asli sukar diteliti menggunakan retina. Atas napas yang masih menderu, aku berani bersumpah. Pada kenyataannya, aku tak seberuntung yang dunia duga. Memangnya menangis diam-diam; marah tak terkontrol; teriak menggila; bisa didefinisikan sebagai kosakata beruntung itu sendiri, hm? Kalau kau merasa tak demikian jawabannya, maka belajarlah mengobservasi seseorang lewat atma, belajarlah memahami seseorang lewat rasa, bukan hanya apa yang ditangkap oleh sepasang netra maupun apa yang didapat telinga. Bisa?
Oke, bilang saja aku si manipulatif.
Ya, tak apa. Memang benar faktanya. Pun kadang perilakuku menciptakan ambigu, maka untuk mencari penjelasan akan hal tersebut janganlah kau ragu. Jika aku ditempatkan di areal penuh sesak—hiruk-pikuk bergejolak seiring para presensi yang berseliweran di mana-mana—maka kurva yang akan kupatrikan tatkala merajut tatap dengan setiap insan penghuni dunia. Namun jika tempat lengang bersama senyap mencekat yang menduduki singgasana, jangan heran jikalau raut muram dipadu sorot mata sarat akan kepiluan yang kau temukan. Bahkan berontakan sinting bukanlah suatu yang mustahil untuk kupertunjukkan.
Sinting. Haha. Cocok untukku, benar?
Hingga pada akhirnya, seiring menit yang terus merengkuh jam, dua tahun lamanya kulewati dengan perangai serupa: manipulatif. Semula tak ada lelah yang mengikis tenaga. Kendati pegal, kedua sudut bibirku selalu terangkat sempurna. Akan tetapi ... ya, harus kuakui bahwa pada dasarnya manusia memang mudah berubah. Sadari akan terlalu bangsat rasa lelah dalam kepura-puraan, rasa muak lantas menggelegak juga.
Bungkam kubiarkan merengkuh. Aku mulai tak tersenyum saat bertemu orang atau tidak. Kata-kata hanya akan terlontar dari belah bibirku begitu dunia melayangkan tanya yang perlu kujawab. Selebihnya, persetan saja. Kali ini seiring menjejaki alur kehidupan, setidaknya aku harus menjadi diriku sendiri: melakukan apa yang kusuka dan menunjukkan perasaanku sebenarnya terhadap dunia.
Dan, oke, cibiran demi cibiran kian sering menyayat gendang telingaku. Jadi diri sendiri memang butuh perjuangan, bukan?
“Kau bebas dari masalah, tuh. Kau juga lumayan disukai orang. Kau bisa dalam beberapa bidang. Tapi kau egois,” kata dunia suatu waktu.
Aku egois? Ha-ha.
Ya, kalau kuakui pernyataan demikian benar adanya, kira-kira hinaan sepahit apa yang akan kuterima, ya? Padahal sudah kubilang, aku memang menyebar kroma, tetapi sesungguhnya aku memendam gulita. Tidakkah para presensi berkoklea itu paham?
Ah, mengingat memoar yang singgah, aku cekikikan geli jadinya. Aku disebut egois, akan tetapi dunia acap kali menghampiri manakala para penghuninya memerlukan jawaban atas pertanyaan yang memusingkan. Atas keegoisanku yang benar-benar di level tertinggi, dengan merendahkan diri aku mengabdi padanya. Benar, aku memang seegois itu sampai-sampai berapa kalipun julukan itu terlontar aku sama sekali jadi tak mau peduli.
Kautahu, bermiliar-miliar orang di dunia ini memiliki karakter yang amat berbeda; bertolak belakang. Maka jikalau kau menemukan gadis cantik bertutur lembut serta memiliki pemikiran cerdas, jangan sampai kau menyamakannya dengan gadis biasa bertutur ala kadarnya serta tidak begitu memiliki pemikiran brilian sepertiku, oke?
Atas dasar itu pula, masalah yang ditanggung pasti berbeda-beda. Ada yang ringan menurutmu, tetapi justru berat bagi orang yang mengalaminya—begitu pun sebaliknya. Jadi janganlah kau berkata padaku seperti “kau enak, ya, tidak memiliki beban” atau “aku iri padamu, pasalnya kau tampak bahagia-bahagia saja” —sebab sekali lagi, kau hanya sekadar memandangku, bukan memahamiku.
Aku tak bersinar seperti yang selalu membuatmu merasa iri. Jadi berhentilah merasa iri pada seseorang yang bahkan tak kau ketahui seberapa gelapnya dia. Berhentilah melontarkan sesuatu atas perspektifmu sendiri sementara kau tak mempertimbangkan bumi ini seluas apa. Berhentilah menghina seseorang manakala satu kesalahan kautemukan di antara beribu kebaikan yang sudah dilakukan. Dunia ini bukan tentang apa yang kaudapatkan lewat retina, tapi apa yang kaurasakan dengan hati terdalam dan akal sehatmu sebagai seorang manusia.
Oh, terakhir, jangan berpura-pura. Tunjukkan saja rasa sakitmu, jujur pada dirimu sendiri bahwa kau menyimpan banyak beban, oke? Karena ketahuilah, menjadi "si manipulatif" itu sangat menguras kewarasan.
Created: April 8th, 2019 - April 10th, 2019
[ ••• ]
Bukanlah sebuah impian, aku begini sebab adanya predestinasi. Dari tiap sekon yang tak lekang mendikte—“tik-tik-tik”, katanya—yang bisa dilakukan hanya menjalani. Hei, bukankah begitu?
Kaleidoskop bertebaran dalam pikiran, hanya saja jangan salahkan jikalau aku tak begitu memiliki ingatan. Toh, terlalu suram, hitam-putih, sulit untuk kujabarkan. Jelasnya, barangkali kau bisa membulatkan persepsi: sejak lima belas tahun aku mulai berevolusi.
Ya, persis seperti ini.
Aku tipikal ceria, orang-orang kata. Senyum tak ayal terulas apik tatkala bertatap muka. Hanya saja mereka tak pernah menerka-nerka bahwa diriku sebenarnya tidak akan bisa ditangkap dengan mata, melainkan dengan atma: rasa. Ya, jangan pusing dengan pernyataan ini. Cukup pahami, maka kau tak perlu susah-susah mencari.
“Kamu enak, ya, hidupnya kelihatan bahagia selalu.” Sekiranya begitulah kalimat yang acap kali mengentuk koklea; jelas terlontar dari mulut milik mereka.
Lantas, aku terbahak saja. Tanpa perlu berdebat panjang, maknanya sudah terpampang. Entah memang tak menyadari atau mungkin lebih tidak peduli, aku tak tahu pasti. Kata “kelihatan” itu sendiri amat krusial dalam hal ini. Karena ... ya, aku memang kelihatan bahagia selalu—aslinya siapa yang tahu, bukan?
Menghela napas jemu, aku laiknya orang dungu. Berkali-kali kukatakan pada diri sendiri: jadi dirimu sendiri, semuanya akan baik-baik saja, tenanglah, dunia pasti menerima, dan nada penyemangat semacamnya. Namun berkali-kali pula kuciptakan tabir hitam yang pada akhirnya menghalangi apa yang menjadi kebenaran.
Bodoh, memang.
“Banyak yang ingin kuungkapkan, mau dengar?” Seringkali dunia bertanya. Pula tak jarang meminta waktuku agar menjadi wadah curahannya. Sifat periangku yang menjadi sebab, alhasil dunia kembali menyambung ucap, “Aku mengalami masalah begini. Sulit sekali menjalaninya, asal kautahu. Bahkan sesaat sebelum selesai, masalah begitu muncul. Aku sudah tak tahan. Mengingat itu, terkadang aku iri padamu. Kau selalu bahagia, ceria, tak pernah berhenti menunjukkan senyum indahnya. Kau beruntung.”
Sekali lagi, dengan aksentuasi tinggi, diriku yang asli sukar diteliti menggunakan retina. Atas napas yang masih menderu, aku berani bersumpah. Pada kenyataannya, aku tak seberuntung yang dunia duga. Memangnya menangis diam-diam; marah tak terkontrol; teriak menggila; bisa didefinisikan sebagai kosakata beruntung itu sendiri, hm? Kalau kau merasa tak demikian jawabannya, maka belajarlah mengobservasi seseorang lewat atma, belajarlah memahami seseorang lewat rasa, bukan hanya apa yang ditangkap oleh sepasang netra maupun apa yang didapat telinga. Bisa?
Oke, bilang saja aku si manipulatif.
Ya, tak apa. Memang benar faktanya. Pun kadang perilakuku menciptakan ambigu, maka untuk mencari penjelasan akan hal tersebut janganlah kau ragu. Jika aku ditempatkan di areal penuh sesak—hiruk-pikuk bergejolak seiring para presensi yang berseliweran di mana-mana—maka kurva yang akan kupatrikan tatkala merajut tatap dengan setiap insan penghuni dunia. Namun jika tempat lengang bersama senyap mencekat yang menduduki singgasana, jangan heran jikalau raut muram dipadu sorot mata sarat akan kepiluan yang kau temukan. Bahkan berontakan sinting bukanlah suatu yang mustahil untuk kupertunjukkan.
Sinting. Haha. Cocok untukku, benar?
Hingga pada akhirnya, seiring menit yang terus merengkuh jam, dua tahun lamanya kulewati dengan perangai serupa: manipulatif. Semula tak ada lelah yang mengikis tenaga. Kendati pegal, kedua sudut bibirku selalu terangkat sempurna. Akan tetapi ... ya, harus kuakui bahwa pada dasarnya manusia memang mudah berubah. Sadari akan terlalu bangsat rasa lelah dalam kepura-puraan, rasa muak lantas menggelegak juga.
Bungkam kubiarkan merengkuh. Aku mulai tak tersenyum saat bertemu orang atau tidak. Kata-kata hanya akan terlontar dari belah bibirku begitu dunia melayangkan tanya yang perlu kujawab. Selebihnya, persetan saja. Kali ini seiring menjejaki alur kehidupan, setidaknya aku harus menjadi diriku sendiri: melakukan apa yang kusuka dan menunjukkan perasaanku sebenarnya terhadap dunia.
Dan, oke, cibiran demi cibiran kian sering menyayat gendang telingaku. Jadi diri sendiri memang butuh perjuangan, bukan?
“Kau bebas dari masalah, tuh. Kau juga lumayan disukai orang. Kau bisa dalam beberapa bidang. Tapi kau egois,” kata dunia suatu waktu.
Aku egois? Ha-ha.
Ya, kalau kuakui pernyataan demikian benar adanya, kira-kira hinaan sepahit apa yang akan kuterima, ya? Padahal sudah kubilang, aku memang menyebar kroma, tetapi sesungguhnya aku memendam gulita. Tidakkah para presensi berkoklea itu paham?
Ah, mengingat memoar yang singgah, aku cekikikan geli jadinya. Aku disebut egois, akan tetapi dunia acap kali menghampiri manakala para penghuninya memerlukan jawaban atas pertanyaan yang memusingkan. Atas keegoisanku yang benar-benar di level tertinggi, dengan merendahkan diri aku mengabdi padanya. Benar, aku memang seegois itu sampai-sampai berapa kalipun julukan itu terlontar aku sama sekali jadi tak mau peduli.
Kautahu, bermiliar-miliar orang di dunia ini memiliki karakter yang amat berbeda; bertolak belakang. Maka jikalau kau menemukan gadis cantik bertutur lembut serta memiliki pemikiran cerdas, jangan sampai kau menyamakannya dengan gadis biasa bertutur ala kadarnya serta tidak begitu memiliki pemikiran brilian sepertiku, oke?
Atas dasar itu pula, masalah yang ditanggung pasti berbeda-beda. Ada yang ringan menurutmu, tetapi justru berat bagi orang yang mengalaminya—begitu pun sebaliknya. Jadi janganlah kau berkata padaku seperti “kau enak, ya, tidak memiliki beban” atau “aku iri padamu, pasalnya kau tampak bahagia-bahagia saja” —sebab sekali lagi, kau hanya sekadar memandangku, bukan memahamiku.
Aku tak bersinar seperti yang selalu membuatmu merasa iri. Jadi berhentilah merasa iri pada seseorang yang bahkan tak kau ketahui seberapa gelapnya dia. Berhentilah melontarkan sesuatu atas perspektifmu sendiri sementara kau tak mempertimbangkan bumi ini seluas apa. Berhentilah menghina seseorang manakala satu kesalahan kautemukan di antara beribu kebaikan yang sudah dilakukan. Dunia ini bukan tentang apa yang kaudapatkan lewat retina, tapi apa yang kaurasakan dengan hati terdalam dan akal sehatmu sebagai seorang manusia.
Oh, terakhir, jangan berpura-pura. Tunjukkan saja rasa sakitmu, jujur pada dirimu sendiri bahwa kau menyimpan banyak beban, oke? Karena ketahuilah, menjadi "si manipulatif" itu sangat menguras kewarasan.
[ ••• ]
10 April, 2019 | 9.23 PM © Hanaranur
Note; Fiksi di atas merupakan karya murni saya tanpa unsur plagiat dan/atau semacamnya. Jadi, saya akan bertindak secara hukum apabila ada yang mencoba melakukan tindakan penggandaan, penjiplakan, atau penyebaran suatu karya tanpa menyertakan nama penulisnya. Dan alur cerita yang saya rangkai sebagian dari diri pribadi saya dan sebagian lagi murni sebagai fiksi belaka.
Terima kasih telah bersedia berkunjung. Sudi kiranya menyertakan komentar sebagai bentuk apresiasi^^

Halo, Ra. Seneng bisa baca tulisan kamu lagi
BalasHapusI-ini ... kak ... serin???
HapusBukan :(
HapusIyanih aku galham T^T
Hapushai ini aku serin ;'D
BalasHapusAAAAAAAAAA KAK SERIN UWUWUWUWW
HapusUdah baca jadi harus komentar
BalasHapus