Kegagalan adalah Merepotkan Orang Lain (Orific)

Original Fiction by Hanaranur


Bismillah. Kali ini, saya mencoba menyelipkan beberapa pesan tersirat lewat sebuah cerita fiksi karya saya sendiri. 

Selamat membaca!

Kegagalan adalah Merepotkan Orang Lain (Orific)



Pukul empat sore.

Horizon di atas sana ternyata sudah mulai memamerkan semburat jingganya. Sementara aku masih berada dalam kendaraan roda empat; bersama teman-teman; sedang dalam perjalanan pulang. Kurasakan pening menyerbu kepala, sebenarnya. Tapi mengingat jarak antara titik tiba dan titik kembali terbilang jauh, aku harus sedikit bersabar.

Berpuluh-puluh menit menyusuri jalan, satu persatu temanku meninggalkan kendaraan; mereka lebih dulu kembali. Tersisalah aku, dan enam temanku yang lain. Sepi mendadak hadir; mendominasi kami yang lebih banyak bungkam. Setelah delapan-sembilan menit dilalui, tibalah giliranku untuk kembali. Tapi untuk pulang, masih ada beberapa meter lagi yang harus kususuri.

Tungkaiku menapak begitu si kendaraan kembali melaju. Begitu menatap lamat, aku baru sadar bahwa ada dua orang temanku juga yang tengah terduduk di kendaraan roda dua; di tempat aku biasa menunggu kendaraan selanjutnya. Kupikir mereka tengah menanti siapa. Bukan aku, jelas. Tapi begitu aku melangkah; berniat menanti kendaraan selanjutnya; salah satu dari mereka bersua.

“Mau pulang tidak?” tanyanya. Sementara aku hanya melongo; kaget.

Dia benar-benar bertanya padaku, bukan?

Aku diam. Suasana kala itu membuatku tegang. Alhasil, kualihkan atensi pada ponsel kendati aku tak memerhatikan apa pun dari benda itu; hanya penenang. Sementara, sayup-sayup temanku yang lain ikut bersuara.

“Kau saja yang bawa,” katanya. Dia bukan berkata padaku, jelas. Karena atensinya tertuju pada temanku yang tadi sempat bertanya.

Dari sana, sebenarnya aku sadar bahwa aku diperlakukan seperti beban yang tak terkira. Jadi yang kulakukan hanya menutup mulut. Ketimbang ikut menyahut, lebih baik aku menjadi batu.

Tapi, tanpa praduga, temanku yang tadi bertanya memundurkan si kendaraan roda duanya; menghampiriku. Ia lantas mengulan tanya, “Mau pulang tidak?”

Aku mendongak. Dia jelas berkomunikasi denganku. Jadi, walau gemetar, kujawab, “Um ... silahkan saja duluan.”

“Kenapa? Kau dijemput?” Lagi, dia bertanya.

“Tidak. Aku pulang sendiri.”

Ditengah konversasi kami, temanku yang tadi bersuara, kembali mengudarakan suara. “Yah, padahal kita sudah menunggu lama,” katanya. Terdengar kecewa.

Sontak aku merasa tak enak hati.

Aku sempat bertanya--pada temanku yang tadi bertanya-- begini, “Jadi kalian menungguku?”. Lantas satu anggukan darinya kuterima. Sontak hatiku mencelos. Di satu sisi, aku tak ingin membebaninya. Di sisi lain, aku ingin segera merengkuh rumah. Jadi, mengingat temanku itu setidaknya berbaik hati, kuanggukan kepala lantas ikut naik ke kendaraan roda dua milik si temanku yang tadi bertanya.

Entah senang karena mereka telah berbaik hati, atau sedih karena mereka telah terbebani, semuanya abstrak. Satu tetes likuid pilu sempat jatuh membelai pelipisku selagi angin menampar kami-si pengendara roda dua. Aku bertanya-tanya. Selama ini, apa aku berguna? Selama hidup, apa aku berarti? Selama bernafas, apa aku dapat membahagiakan orang lain?

Kulihat matahari yang nyaris mengecup tanah itu tersenyum sejenak, lantas berkata, “Hai, Anna. Janganlah jadi pecundang.”

Itu tidaklah menjawab pertanyaanku.

Kemudian, selepas si kendaraan roda dua melewati jembatan yang belum sempurna, kulihat gumpalan awan bak kapas di cakrawala sana tersenyum selagi berkata, “Hai, Anna. Lenyaplah dari pandangan orang-orang.”

Sekali lagi, itu tidaklah menjawab pertanyaanku.

Hingga pada saat kendaraan roda dua menyusuri jalan yang di sampingnya terbentang panorama, berembuslah angin nan berbisik tepat di telinga, “Hai, Anna. Selama ini, kau orang gagal. Karena kau sudah merepotkan semua orang, termasuk kedua temanmu yang berhati suci itu.”

Spontan aku tersenyum. Tapi, aku juga menangis. Bahagia rasanya pertanyaanku terjawab sudah. Namun sakit rasanya menerima fakta akan kebenaran yang kujalani di dunia. Mereka sudah berbaik hati. Teman-temanku amat menjalin peduli. Kendati aku sendiri malah menorehkan luka di setiap inchi presensinya; inchi presensi mereka.

Ya, selama ini aku adalah orang gagal, ternyata. Karena kegagalan adalah merepotkan orang lain. Dan sudah tak dapat dikalkulasikan lagi berapa kali aku merepotkan mereka.


copyright © 10 Sept, 2018
Written by Hanaranur







Writer's Note :

Original Fiction ini diambil dari pengalaman pribadi. Jadi, apabila ada kesamaan alur, kejadian, mau pun setiap karakter, mohon maaf sebesar-besarnya dan beritahu saya secara baik-baik jika salah satu dari anda merasa dirugikan. Saya menulis fiksi demikian tak lain untuk mencurahkan keluh kesah saya tentang betapa merepotkannya saya di lingkungan sosial saya. Apabila ada yang tersinggung, mohon maaf, saya sama sekali tidak bermaksud demikian. Tujuan saya menulis fiksi berikut tak lain untuk menyadarkan orang-orang untuk tidak terlalu ketergantungan terhadap orang lain; karena tidak setiap saat anda bisa mendapatkan kebaikan hati mereka.

Akhir kata, terima kasih banyak bagi yang sudah membaca.

Komentar

Postingan Populer